Perjalanan
kali ini mungkin bisa disebut sebagai jawaban atas rasa penasaran saya terhadap
wisata sejarah yang lokasinya berdekatan dengan kota asal saya, Salatiga. Sejak
kecil saya selalu menganggap bahwa tidak ada objek wisata yang recommended untuk dikunjungi ketika Anda
akan berkunjung ke Salatiga. Entah karena minimnya informasi dan pengelolaan
atau memang karena tidak adanya objek wisata yang mumpuni. Untuk itu saya pun harus berusaha mencari informasi secara
ekstra dibandingkan biasanya, agar dapat menggali potensi wisata yang terdapat di
Salatiga dan sekitarnya. Berbekal informasi dari blog traveling seorang kawan, saya mendapatkan informasi mengenai situs
Candi Klero yang terletak di Desa Klero, Kec. Tengaran, Kabupaten Semarang yang
tidak jauh untuk ditempuh dari Salatiga. Saya dan keluarga pun menempuh waktu
perjalanan yang relatif singkat, hanya sekitar 20 menit dari pusat kota
Salatiga.
|
Tante, Mama, Eyang Putri dan saya :) |
Sudah lama sebenarnya saya
mendapatkan informasi mengenai keberadaan Candi Klero atau Tengaran ini, namun
karena keterbatasan di sana-sini (baca: waktu, kesempatan, dan informasi)
membuat saya baru mewujudkannya 3 hari yang lalu sebelum postingan ini saya
buat. Bagi saya candi ini memang benar-benar diam bertapa di balik kebisingan.
Bagaimana tidak?, candi ini tersembunyi dibalik Jalan Raya Semarang – Solo yang
selalu ramai oleh kendaraan-kendaraan antar kota, tanpa ada papan petunjuk sama
sekali yang dapat mengarahkan wisatawan untuk menuju candi ini. Untung saja
informasi yang diperoleh dari blog seorang kawan saya cukup gamblang, terutama dalam mendeskripsikan
lokasi candi ini. Ya, meskipun tidak ada papan petunjuk sama sekali, Anda cukup
mencari lokasi pabrik PT. Nesia Pan Pasific Knit yang terletak di sisi kanan jalan
jika Anda bergerak dari arah Semarang, dan sebaliknya jika bergerak dari arah
Solo. Di seberang pabrik ini terdapat gapura bertuliskan Dusun Ngentak - Desa
Klero dan cukup berjalan sedikit dari gapura inilah maka Anda akan menemukan
lokasi dimana Candi Klero berada. Oh ya, jalan menuju ke sana pun cukup sempit,
mungkin hanya cukup untuk satu buah mobil dengan permukaan yang berbatu-batu.
Maklum, seperti layaknya jalan di pedesaan yang masih minim fasilitas, ditambah
lagi keberadaan candi ini hanya ditunjukkan oleh sebuah papan kayu sederhana
yang terpasang di pinggir jalan desa.
Saya dan keluarga pun segera turun
dari mobil untuk melihat Candi Klero ini secara keseluruhan. Dengan melihat
adanya pagar yang mengelilingi candi, pos penjagaan dan fasilitas berupa toilet
serta tempat sampah bertuliskan BPPP Jateng menunjukkan bahwa candi ini
mendapatkan perhatian dari Balai Pelestarian Purbakala Jateng dalam
perawatannya. Bahkan berdasarkan informasi yang saya peroleh mengatakan bahwa
pihak BPPP sering mengontrol candi ini secara rutin sebulan sekali. Salute!!
Observasi saya pun berlanjut. Sepintas saya melihat arsitektur Candi Klero ini
mirip dengan bangunan induk Candi Sambisari yang terletak di Kabupaten Sleman,
D.I.Y. Hanya saja, Candi Klero tidak memiliki dinding yang mengelilingi
bangunan induk seperti Sambisari. Terlebih lagi, candi ini hanya terdiri dari
satu bangunan candi induk tanpa adanya candi perwara yang mendampinginya.
Minimalis memang, namun saya yakin bahwa warisan peradaban masa lalu ini menyimpan
fungsi yang besar di masanya.
|
Di Balik Pintu ini, terdapat Yoni yang ramai dengan sesajen |
Adanya yoni dan juga temuan arca
Siwa di candi ini menunjukkan bahwa Candi Klero merupakan candi Hindu yang berfungsi
sebagai tempat pemujaan atau sembahyang. Tidak seperti candi pada umumnya,
Candi Klero hadir tanpa relief satu pun sehingga tampak sebagai kumpulan batu
polos yang bersusun rapi tanpa cerita. Bahkan, adanya pahatan tulisan Jawa kuno
di bagian pondasi candi pun belum diketahui maknanya hingga saat ini. Jadi tepat
rasanya jika saya menyebut candi ini diam bertapa, tanpa adanya informasi yang
memadai. Saya pun memasuki bagian dalam candi dan menemukan yoni yang mengisi (hampir)
penuh ruangan tersebut. Dengan banyaknya sesajen di atas yoni maupun di sudut
lain dalam ruangan tersebut, membuat aroma kemenyan
dan hio yang dibakar sangat khas untuk saya kenali. Ya, candi ini memang masih
sering dikunjungi oleh warga terutama pada hari Selasa dan Jum’at Kliwon,
bahkan katanya tidak sedikit pengunjung yang rela menginap di dalam candi untuk
melaksanakan laku kejawen. Oh ya, jangan harap Anda akan menemukan arca Siwa
yang dulu ditemukan pada candi ini, karena saat ini arca tersebut disimpan pada
museum purbakala yang berada di kompleks Candi Prambanan. Terlepas dari
observasi terhadap bangunan candi, saya juga menemukan sebuah lumpang dan
alunya. Keduanya terbuat dari batu andesit dan tampak tertata pada salah satu
sudut halaman candi. Pasangan alu dan lumpang ini disebut Mbah Lumpang Kentheng
oleh warga sekitar, namun informasi mengenai Mbah Lumpang Kentheng ini pun tak
kalah minimalisnya dengan informasi terakait candi induk.
|
Batu berbentuk persegi yang mengelilingi candi induk ini belum diketahui fungsinya |
Ya, memang, saya pun merasa bahwa
tidak banyak yang bisa saya ketahui mengenai Candi Klero ini. Serba minimalis.
Keterbatasan informasi terkait lokasi serta sejarahnya, juga keterbatasan akses
jalan dan SDM membuat Candi Klero ini menghadirkan tapa diam yang sungguh sulit
diganggu oleh pengunjungnya. Bahkan saya pun hanya mendapatkan sebuah
kesimpulan sederhana mengenai candi ini. Ya, bagi saya Candi Klero adalah sebatas
candi hindu yang berfungsi sebagai tempat pemujaan atau sembahyang, tanpa tahu
dibangun pada tahun berapa dan dibawah pemerintahan kerajaan mana. Candi Klero
telah menjadi salah satu saksi bisu kekayaan historis Indonesia, bahwa
Indonesia memiliki peradaban masa lalu yang luar biasa banyak dan beragam yang
belum semuanya tereksplorasi secara maksimal dari sisi keilmuan. Indonesia
itu kaya! Kenali Negerimu, Cintai Negerimu!
|
Saya bersama Mbah Lumpang Kentheng |
|
|
Bersama papa saya, beliaulah yang telah mengenalkan wisata candi sejak saya berusia 2 tahun |
|
Di salah satu sudut Candi Klero |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar