|
Coba perhatikan tulisan dalam prasasti ini =) |
Akhirnya postingan saya kali ini akan
mengangkat nama kota asal saya, Salatiga. Ya, sebagai jawaban atas pertanyaan
teman-teman sekolah saya dulu yang selalu menegur saya untuk lebih seksama
dalam menjelajahi wisata di Salatiga. Saya sadar betul, bahwa kota asal saya
ini hanya berupa kotamadya kecil di Provinsi Jawa Tengah yang berdekatan dengan jajaran kabupaten-kabupaten seperti
Kabupaten Semarang dan Boyolali. Pariwisata yang ditawarkan pun tidak banyak,
mengingat lokasinya yang berada di lereng timur Gunung Merbabu membuat Salatiga
menawarkan wisata alam yang cukup ordinary.
Jika saya bisa menyebutkan, dari semua pariwisata yang dimiliki Salatiga
mungkin hanya Kawasan Wisata Kopeng yang cukup terdengar namanya di masyarakat.
Wisata Kopeng ini pun sangat ordinary,
dimana menurut saya progress
pariwisata di kawasan ini pun berjalan sangat lambat. Tidak banyak berubah
sejak saya masih balita hingga saya kini yang sudah berusia 24 tahun. Ya,
sangat ordinary dengan ciri khasnya
yang berupa villa-villa di kawasan sejuk plus wisata kebun sayur, buah dan
tanaman hias, meskipun sekarang terdapat Kopeng
Tree Top bagi wisatawan yang ingin ber-outbound
ria. Bagi saya, Kopeng cukup recommended
bagi Anda yang ingin beristirahat dari rutinitas sehari-hari, tapi tidak bagi
Anda yang mencari petualangan.
|
Ini dia wisata alam Kopeng, cocok bagi Anda yang mencari ketenangan =) |
Kali
ini saya akan mengangkat Salatiga dalam sudut pandang sejarah. Jika pada masa
kecil dulu, saya selalu akrab dengan cerita rakyat asal-usul Salatiga, maka di
postingan ini saya akan membahas dari sisi bukti historisnya. Ya, bukti
historis yang ternyata berhasil membuat Salatiga memiliki hasil kebudayaan yang
bisa dibanggakan saat ini. Bukti historis yang berhasil dilirik oleh pemerhati
budaya dan dituangkan sebagai motif batik khas Salatiga. Apalagi jika bukan
Prasasti Plumpungan. Sebuah prasasti berbentuk batu yang terpecah menjadi tiga
bagian ini jika dalam cerita rakyat diceritakan sebagai tiga orang perampok
yang dikutuk menjadi batu sehingga diasumsikan menjadi “salahnya orang tiga”
atau Salatiga. Tapi penelusuran sejarah tidak bisa menggunakan cerita rakyat
ini sebagai dasar untuk menentukan sejarah asal-usul Salatiga. Ya, tulisan yang
terpahat dalam prasasti Plumpungan inilah yang digunakan sebagai acuan. Dari
tiga batu ini (selo=batu; tigo= tiga) nama kota Salatiga berasal.
|
Prasasti Plumpungan, 1 terpecah, dan 1 lagi terbelah 2 = total 3 batu
|
Prasasti
Plumpungan ini terletak di dukuh Plumpungan, Desa Kauman Kidul, Kecamatan
Sidorejo, Salatiga. Jika Anda ingin mengunjunginya dari pusat kota Salatiga,
Anda cukup bergerak ke arah timur dari pusat kota. Pengartian prasasti ini pun
memberikan bukti historis bahwa Salatiga berasal dari sebuah kawasan desa
perdikan. Desa perdikan adalah sebutan yang diberikan bagi suatu daerah dibawah
kekuasaan kerajaan tertentu yang dibebaskan dari segala kewajiban pajak karena
kekhususan yang dimilikinya. Maka dari itu desa perdikan pun selalu digunakan
sesuai dengan kehususannya. Pemberian status perdikan pun dianggap sangat
istemewa, karena hanya diberikan kepada wilayah yang benar-benar berjasa
terhadap raja sehingga perlu diabadikan dalam bentuk prasasti.
|
Bisa dilihat kan, betapa terjaganya prasasti ini
|
Prasasti
ini pun ditulis dalam dua bahasa yaitu Jawa Kuno dan Sansekerta yang dipahat
dalam petak segi empat bergaris ganda yang menjorok ke dalam dan keluar pada
setiap sisinya. Saat saya mengunjunginya seminggu yang lalu, saya cukup puas
melihat kesan prasasti ini yang sungguh terawat. Dengan adanya pagar tembok
yang mengelilingi prasasti, juga lantai keramik dan atap bangunan serta lampu
yang akan dinyalakan ketika malam tiba, membuat prasasti ini memang berperan
penting sebagai bukti historika Salatiga. Oh ya, kesan desa perdikan pun
tergambar dari sebuah kalimat yang terdapat dalam prasasti ini yaitu “Srir Astu Swasti Prajabhyah”, yang artinya: "Semoga Bahagia,
Selamatlah Rakyat Sekalian". Sebuah kalimat yang menjamin kebahagiaan
rakyat desa perdikan dari segala perpajakan maupun upeti kepada kerajaan. Oke,
saya cukupkan dulu mengenai prasasti yang berjasa besar dalam penentuan usia
Kota Salatiga ini. Kini saatnya saya mengenalkan batik Plumpungan khas Salatiga.
Nah, bagaimana wujudnya? Ya, wujud batik Plumpungan sangatlah khas dengan
warna-warnanya yang menarik, baik berupa warna alam seperti hijau, oranye,
biru, turqoise dan merah, namun juga
tersedia dalam warna-warna klasik seperti coklat tanah dan krem. Nah,
perbedaanya terletak pada motif watu rumpuk
yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai kumpulan batu-batu. Motif ini
sengaja diangkat dalam batik khas Salatiga untuk tetap mengingatkan kita pada
prasasti Plumpungan yang berbentuk batu terbelah tiga.
|
Papan petunjuk -- Alih Aksara dari tulisan yang terdapat dalam prasasti
|
Saya pun sempat mengunjungi sebuah
galeri batik Selotigo yang terletak di pinggir jalan, tidak jauh dari lokasi
prasasti Plumpungan berada. Kesemuanya merupakan batik cap tanpa ada yang
bertipe printing. Harganya pun
terjangkau, mulai dari Rp. 80.000 s.d. dibawah Rp. 200.000 dan tersedia dalam
bentuk kain berukuran 2 meter, juga dalam bentuk baju jadi. Tergantung selera
Anda saja. Saya pun lebih memilih untuk membeli batik dalam bentuk kain karena
akan lebih pas ukurannya ketika dijahitkan nanti. Dengan motif watu rumpuk yang dominan, saya pun
memilih warna oranye tua yang terlihat ramah dengan warna kulit saya.
|
Inilah batik Selotigo, dengan motif batu nya yang khas =) |
Bagi saya, upaya para pemerhati
budaya Salatiga untuk mengangkat prasasti Plumpungan dalam motif batik Selotigo
merupakan hal yang luar biasa kreatif. Ya, suatu upaya yang patut mendapatkan
dukungan pemerintah setempat untuk lebih berkembang lagi. Bahkan saya sendiri
pun bangga, kota kecil saya ternyata memiliki batik yang tidak kalah indah
dengan batik-batik yang berasal dari wilayah lainnya di Indonesia. Saya semakin
bangga menjadi anak Indonesia. Negeri yang penuh sejarah, seni, budaya dan alam
yang komplit serta cantik! Kenali Negerimu, Cintai Negerimu!
|
Tampak seperti batu pada umumnya, tapi tidak umum lagi jika Anda amati tulisan di bagian atasnya |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar