Kamis, 08 Maret 2012

Jogja Museum Review : Untukmu Museum Batik Yogyakarta..

(Photo by http://batik.cindelaras.com)Dibalik kesederhanaan bangunannya, museum ini menyimpan dedikasi yang luar biasa dari sang pemilik

            Berjudul panjang dalam postingan kali ini memang saya sengaja. Ya, saya juga sengaja menulisnya dengan cepat sebagai rasa kekaguman yang luar biasa akan dedikasi manusia di balik sebuah museum sederhana yang terletak di sisi selatan Stasiun Lempuyangan ini. Pada awalnya, kunjungan saya kali ini adalah untuk membayar rasa penasaran saya akan museum ini yang batal saya kunjungi di tahun lalu karena tutup. Sekaligus ingin memasukkannya dalam postingan yang sedang saya garap  yaitu Jogja Museums : Review Part 2. Tapi yang saya dapatkan ternyata jauh lebih besar daripada yang saya ekspektasikan sebelumnya. Ya, berjudul “Untukmu Museum Batik Yogyakarta”, saya dedikasikan ini secara terpisah dari review edisi kedua saya, sebagai rasa salut dan kagum saya akan ketekunan, kecintaan, dan pengabdian seorang wanita dalam menjaga dan menghargai Batik, sebagai warisan budaya bangsa.



Koleksi kebaya Encim pun ada di museum ini

            Bediri di Jalan Dr. Soetomo No. 13A Yogyakarta, museum batik ini jelas mudah terlewatkan dari perhatian masyarakat atau pengendara motor yang bersliweran di jalan itu. Letaknya memang tidak persis di pinggir jalan, tapi agak masuk ke sebuah gang kecil di dekat lampu traffic light. Saat ini, kita cukup menemukan papan besar bertuliskan “Hotel Museum Batik” di sisi barat jalan yang  menurut  saya sangat membantu wisatawan dalam menjangkau museum ini.  Ya, memang hotel ini berada berdampingan dengan Museum Batik Yogyakarta karena memang dikelola oleh keluarga yang sama secara swasta, sehingga statusnya pun bukan sebagai museum pemerintah. Ternyata dibalik kesederhanaan museum ini, tersimpan sisi “lentera jiwa” yang luar biasa dari sang pemilik, ya sebut saja R. Ngt. Dewi Nugroho, seorang nenek berusia 86 tahun yang sebagian besar hidupnya dipenuhi oleh rasa cinta yang besar terhadap Batik.

Koleksi berbagai macam canthing dan kegunaanya dalam menghasilkan motif batik

            Museum ini memang baru diresmikan pada tahun 1979, tapi siapa sangka jika museum ini menyimpan koleksi yang sudah turun-temurun secara empat generasi. Ya, oma Dewi adalah generasi keempat yang saat ini masih mempertahankan museum yang menyimpan batik sebagai perjalanan sejarah budaya bangsa ini. Sedari kecil, beliau sudah mengakrabi batik sebagai teman hidupnya. Tidak hanya melalui koleksi batik yang berasal dari abad ke-18 (th.1730) hingga beberapa dekade terakhir, namun juga melalui hasil-hasil karya tangan beliau yang saya saksikan sendiri di museum ini. Jadi, oma Dewi bukanlah sekedar kolektor, beliau adalah pelaku, pemerhati dan sekaligus pecinta batik sebagai warisan bangsa. Terlihat barisan kertas bermotifkan batik beraneka rupa yang dilukis tangan, tampak jelas di depan mata saya. Kertas-kertas itu seakan berbicara  tentang waktu. Ya, lukisan dari tahun-tahun awal dimana beliau mulai membatik hingga yang terbaru pun berjejer rapi di sana. Lukisan batik di atas kertas ini berfungsi sebagai pola yang dapat diikuti oleh para perajin batik yang bekerja untuk beliau, ketika  masih aktif memproduksi batik. Saat ini, produksi batik hanya sebatas demo yang disajikan untuk para wisatawan yang datang, seperti yang saya lihat saat itu. Bagi saya goresan tangan beliau tadi sungguhlah indah. Saya sebagai orang yang juga hobi melukis, melihat sisi seni dan keindahan yang jelas dari goresan-goresan tangan beliau. Pantas saja, batik-batik hasil karya beliau pun sungguh cantik. Oma Dewi juga pernah menerima suatu penghargaan budaya bertaraf nasional. Jadi, jelaslah bahwa dedikasi beliau terhadap batik tidak perlu diragukan lagi.

Saya bersama koleksi batik Pekalongan =)
            Oke, saya cukupkan pembahasan tentang beliau yang sungguh luar biasa. Kini saatnya saya menceritakan detail museum yang tak kalah luar biasa dari pemiliknya ini. Berada di dalam sebuah bangunan sederhana, museum ini memiliki beragam koleksi batik yang menawan. Mulai dari batik motif Jogja, Solo, hingga beberapa batik bermotifkan pesisir utara dan selatan tersedia di sana. Bukan hanya dari beragam daerah, namun juga dari beragam masa. Maka tidak salah jika museum ini menceritakan batik sebagai perjalanan budaya sebuah bangsa, Indonesia. Ditemani ibu Wagiyem, seorang ibu yang bekerja di sana, saya diajak berkeliling menikmati batik dari sisi ke sisi. Ya, saya sendiri memang pengagum dan pecinta batik, serta hobi sekali mengenakan batik dalam acara formal. Jadi tur museum ini jelas menarik bagi saya. Bahkan si Rian yang menemani saya siang itu pun terlihat sangat enjoy dalam menyimak satu per satu penjelasan ibu Wagiyem. Teman saya yang satu ini mungkin bisa disebut jawa abal-abal. Hahaha.. Walaupun darah Jawa mengalir jelas dari ayah ibunya yang memang orang jawa, namun Rian besar dan tumbuh di Makassar. Bahkan dia sempat berceloteh “Aku nggak tahu blass tentang batik, baik motif maupun filosofinya, jadi kalau besok nikah dan dapetnya jodoh orang jawa mungkin aku pasrah aja atau malah ngga pake adat Jawa hahaha..”. Nah, dari sini saya membuktikan satu hal yang pasti dari berwisata di museum yaitu dari yang tidak tahu menjadi tahu.

Ini dia, koleksi Batik dari abad 18-20

            Celoteh si Rian tadi terucap setelah mendengar penjelasan tentang beberapa motif batik dari ibu Wagiyem. Jika sedang dalam masa pacaran dan masih anget-angetnya jatuh cinta nih, pasangan biasanya menggunakan batik bermotif Madubroto. Lalu, jika sudah sampai dilamar, maka pasangan dianjurkan untuk menggunakan batik bermotif Sidodadi di acara lamaran, yang artinya jadi dilamar untuk selanjutnya menikah. Nah, jika menikah, maka pasangan dianjurkan untuk menggunakan batik bermotif Sidomukti saat menikah, yang mengandung filosofi menjadi kekal atau awet sampai akhir hayat. Ngga ada habisnya membahas batik, bahkan motif-motif yang saya sebutkan di atas, beberapa memiliki perbedaan antara gaya Solo dan Jogja. Belum lagi, ada batik bermotif pagi-sore yang dikenalkan ibu Wagiyem kepada saya. Jadi batik ini memiliki 2 motif  yang berbeda dalam satu kain sehingga seolah-olah sudah berganti batik, padahal masih dalam kain batik yang sama. Beberapa batik lasem, demakan, pekalongan, dan banyumasan juga terpajang rapi di museum. Hanya saja, saya tidak menemukan satu pun batik Jawa Barat yang terkenal dengan motif Mega Mendungnya di sana. Ya, rata-rata koleksi museum ini memang berasal dari Jogja dan Jawa Tengah.

Ini dia motif Madubroto, bagi mereka yang sedang berpacaran =)

            Mari beralih ke koleksi lainnya. Saya diperkenalkan langsung oleh oma Dewi kepada alat-alat cap batik yang sangat beragam. Mulai dari alat cap warisan generasi pertama beliau, sampai alat cap buatan Belanda yang motifnya nyeleneh. Alat cap yang terbuat dari kuningan ini ternyata cukup berat dan sistem kerjanya adalah menggantikan canthing. Jadi, alat cap ini dicelupkan ke dalam lilin panas dan dicapkan ke kain, layaknya stempel. Oh ya, ada satu lagi koleksi oma Dewi yang awesome!. Apalagi kalau bukan koleksi sulaman yang disulam sendiri oleh oma Dewi menggunakan benang wool. Dari kejauhan memang tampak seperti kerajinan kristik, tapi jangan salah, jika didekati maka sulaman yang begitu detail ini akan terlihat jauh berbeda dengan kristik. Sesekali beliau menggunakan foto sebagai patokan dalam menyulam, namun tak jarang juga beliau menyulam secara spontan alias menggunakan kreatifitas yang menari-nari di pikirannya. Bahkan salah satu hasil sulaman beliau yang menggambarkan “Penyaliban Jesus di Golgota” mendapatkan penghargaan rekor MURI sebagai sebuah sulaman terbesar dengan ukuran 90 x 400 cm. Dan itu pun dibuat tanpa contoh, alias mengandalkan imajinasi beliau. “Sulaman terbesar ini saya buat selama 3,5 tahun, saat saya menunggui suami yang sedang sakit, jadi sambil menunggui, ya,  sambil menyulam” ucap oma Dewi. Glek..saya pun menelan ludah. Hebat!, inilah yang saya dan Rian sebut dengan orang yang bekerja dan berkarya dengan “lentera jiwa”-nya. Mereka lebih bisa menginspirasi orang lain dari apa yang telah mereka lakukan selama ini atas dasar “lentera jiwa” tadi.

Si Rian dengan sulaman terbesar yang sudah berpiagam MURI

            Salut buat beliau! Saya mendapatkan inspirasi hari ini dari seorang oma Dewi atas totalitas dan loyalitasnya yang tinggi pada sebuah pekerjaan. Oh ya, sekedar informasi saja bahwa Museum Batik dan Sulaman ini beroperasi setiap hari kerja yaitu Senin – Sabtu mulai pukul 09.00-12.00 dan 13.00-15.00 WIB. Lalu, untuk hari Minggu/ libur masih dapat dikunjungi dengan menghubungi pihak museum terlebih dahulu di nomor telepon (0274) 562 338. Di hari Minggu/ libur, museum ini masih melayani kunjungan terutama untuk studi wisata atau bisa juga tamu personal namun minimal 5 orang/kunjungan. Untuk tiket masuknya dikenai biaya sebesar Rp.15.000,-/orang. Jangan dibandingkan dengan museum pemerintah yang hanya Rp.3.000 - 5.000,-/orang ya, karena jelaslah bahwa museum ini dikelola secara mandiri mulai dari perawatan koleksi hingga bangunannya. Saya berani menjamin, harga ini masih terlalu murah jika dibandingkan banyaknya pengetahuan baru yang bisa kita dapat di museum ini. Indonesia has lot of Culture! Kenali Negerimu, Cintai Negerimu!. Slogan ini semakin terasa saja, ya, jika tak kenal maka tak sayang! :)

Sederhana namun luar biasa  =)
                       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar