(Photo by http://batik.cindelaras.com)Dibalik kesederhanaan bangunannya, museum ini menyimpan dedikasi yang luar biasa dari sang pemilik |
Berjudul panjang dalam postingan kali
ini memang saya sengaja. Ya, saya juga sengaja menulisnya dengan cepat sebagai
rasa kekaguman yang luar biasa akan dedikasi manusia di balik sebuah museum
sederhana yang terletak di sisi selatan Stasiun Lempuyangan ini. Pada awalnya,
kunjungan saya kali ini adalah untuk membayar rasa penasaran saya akan museum
ini yang batal saya kunjungi di tahun lalu karena tutup. Sekaligus ingin
memasukkannya dalam postingan yang sedang saya garap yaitu Jogja
Museums : Review Part 2. Tapi yang saya dapatkan ternyata jauh lebih besar
daripada yang saya ekspektasikan sebelumnya. Ya, berjudul “Untukmu Museum Batik Yogyakarta”, saya dedikasikan ini secara
terpisah dari review edisi kedua
saya, sebagai rasa salut dan kagum saya akan ketekunan, kecintaan, dan
pengabdian seorang wanita dalam menjaga dan menghargai Batik, sebagai warisan
budaya bangsa.
Koleksi kebaya Encim pun ada di museum ini |
Bediri
di Jalan Dr. Soetomo No. 13A Yogyakarta, museum batik ini jelas mudah
terlewatkan dari perhatian masyarakat atau pengendara motor yang bersliweran di jalan itu. Letaknya
memang tidak persis di pinggir jalan, tapi agak masuk ke sebuah gang kecil di
dekat lampu traffic light. Saat ini,
kita cukup menemukan papan besar bertuliskan “Hotel Museum Batik” di sisi barat
jalan yang menurut saya sangat membantu wisatawan dalam
menjangkau museum ini. Ya, memang hotel
ini berada berdampingan dengan Museum Batik Yogyakarta karena memang dikelola oleh
keluarga yang sama secara swasta, sehingga statusnya pun bukan sebagai museum
pemerintah. Ternyata dibalik kesederhanaan museum ini, tersimpan sisi “lentera
jiwa” yang luar biasa dari sang pemilik, ya sebut saja R. Ngt. Dewi Nugroho,
seorang nenek berusia 86 tahun yang sebagian besar hidupnya dipenuhi oleh rasa
cinta yang besar terhadap Batik.
Koleksi berbagai macam canthing dan kegunaanya dalam menghasilkan motif batik |
Museum
ini memang baru diresmikan pada tahun 1979, tapi siapa sangka jika museum ini
menyimpan koleksi yang sudah turun-temurun secara empat generasi. Ya, oma Dewi
adalah generasi keempat yang saat ini masih mempertahankan museum yang
menyimpan batik sebagai perjalanan sejarah budaya bangsa ini. Sedari kecil,
beliau sudah mengakrabi batik sebagai teman hidupnya. Tidak hanya melalui
koleksi batik yang berasal dari abad ke-18 (th.1730) hingga beberapa dekade
terakhir, namun juga melalui hasil-hasil karya tangan beliau yang saya saksikan
sendiri di museum ini. Jadi, oma Dewi bukanlah sekedar kolektor, beliau adalah
pelaku, pemerhati dan sekaligus pecinta batik sebagai warisan bangsa. Terlihat
barisan kertas bermotifkan batik beraneka rupa yang dilukis tangan, tampak
jelas di depan mata saya. Kertas-kertas itu seakan berbicara tentang waktu. Ya, lukisan dari tahun-tahun
awal dimana beliau mulai membatik hingga yang terbaru pun berjejer rapi di
sana. Lukisan batik di atas kertas ini berfungsi sebagai pola yang dapat
diikuti oleh para perajin batik yang bekerja untuk beliau, ketika masih aktif memproduksi batik. Saat ini,
produksi batik hanya sebatas demo yang disajikan untuk para wisatawan yang
datang, seperti yang saya lihat saat itu. Bagi saya goresan tangan beliau tadi
sungguhlah indah. Saya sebagai orang yang juga hobi melukis, melihat sisi seni
dan keindahan yang jelas dari goresan-goresan tangan beliau. Pantas saja,
batik-batik hasil karya beliau pun sungguh cantik. Oma Dewi juga pernah
menerima suatu penghargaan budaya bertaraf nasional. Jadi, jelaslah bahwa
dedikasi beliau terhadap batik tidak perlu diragukan lagi.
Saya bersama koleksi batik Pekalongan =) |
Oke,
saya cukupkan pembahasan tentang beliau yang sungguh luar biasa. Kini saatnya
saya menceritakan detail museum yang tak kalah luar biasa dari pemiliknya ini.
Berada di dalam sebuah bangunan sederhana, museum ini memiliki beragam koleksi
batik yang menawan. Mulai dari batik motif Jogja, Solo, hingga beberapa batik
bermotifkan pesisir utara dan selatan tersedia di sana. Bukan hanya dari
beragam daerah, namun juga dari beragam masa. Maka tidak salah jika museum ini
menceritakan batik sebagai perjalanan budaya sebuah bangsa, Indonesia. Ditemani
ibu Wagiyem, seorang ibu yang bekerja di sana, saya diajak berkeliling
menikmati batik dari sisi ke sisi. Ya, saya sendiri memang pengagum dan pecinta
batik, serta hobi sekali mengenakan batik dalam acara formal. Jadi tur museum
ini jelas menarik bagi saya. Bahkan si Rian yang menemani saya siang itu pun
terlihat sangat enjoy dalam menyimak
satu per satu penjelasan ibu Wagiyem. Teman saya yang satu ini mungkin bisa
disebut jawa abal-abal. Hahaha..
Walaupun darah Jawa mengalir jelas dari ayah ibunya yang memang orang jawa, namun
Rian besar dan tumbuh di Makassar. Bahkan dia sempat berceloteh “Aku nggak tahu blass tentang batik, baik
motif maupun filosofinya, jadi kalau besok nikah dan dapetnya jodoh orang jawa
mungkin aku pasrah aja atau malah ngga pake adat Jawa hahaha..”. Nah, dari
sini saya membuktikan satu hal yang pasti dari berwisata di museum yaitu dari
yang tidak tahu menjadi tahu.
Ini dia, koleksi Batik dari abad 18-20 |
Celoteh
si Rian tadi terucap setelah mendengar penjelasan tentang beberapa motif batik
dari ibu Wagiyem. Jika sedang dalam masa pacaran dan masih anget-angetnya jatuh cinta nih, pasangan biasanya menggunakan batik
bermotif Madubroto. Lalu, jika sudah sampai dilamar, maka pasangan dianjurkan
untuk menggunakan batik bermotif Sidodadi di acara lamaran, yang artinya jadi
dilamar untuk selanjutnya menikah. Nah, jika menikah, maka pasangan dianjurkan
untuk menggunakan batik bermotif Sidomukti saat menikah, yang mengandung
filosofi menjadi kekal atau awet sampai akhir hayat. Ngga ada habisnya membahas batik, bahkan motif-motif yang saya
sebutkan di atas, beberapa memiliki perbedaan antara gaya Solo dan Jogja. Belum lagi, ada batik
bermotif pagi-sore yang dikenalkan ibu Wagiyem kepada saya. Jadi batik ini
memiliki 2 motif yang berbeda dalam satu
kain sehingga seolah-olah sudah berganti batik, padahal masih dalam kain batik
yang sama. Beberapa batik lasem, demakan, pekalongan, dan banyumasan juga
terpajang rapi di museum. Hanya saja, saya tidak menemukan satu pun batik Jawa
Barat yang terkenal dengan motif Mega Mendungnya di sana. Ya, rata-rata koleksi
museum ini memang berasal dari Jogja dan Jawa Tengah.
Ini dia motif Madubroto, bagi mereka yang sedang berpacaran =) |
Mari
beralih ke koleksi lainnya. Saya diperkenalkan langsung oleh oma Dewi kepada
alat-alat cap batik yang sangat beragam. Mulai dari alat cap warisan generasi
pertama beliau, sampai alat cap buatan Belanda yang motifnya nyeleneh. Alat cap yang terbuat dari
kuningan ini ternyata cukup berat dan sistem kerjanya adalah menggantikan
canthing. Jadi, alat cap ini dicelupkan ke dalam lilin panas dan dicapkan ke
kain, layaknya stempel. Oh ya, ada satu lagi koleksi oma Dewi yang awesome!. Apalagi kalau bukan koleksi
sulaman yang disulam sendiri oleh oma Dewi menggunakan benang wool. Dari
kejauhan memang tampak seperti kerajinan kristik, tapi jangan salah, jika
didekati maka sulaman yang begitu detail ini akan terlihat jauh berbeda dengan
kristik. Sesekali beliau menggunakan foto sebagai patokan dalam menyulam, namun
tak jarang juga beliau menyulam secara spontan alias menggunakan kreatifitas
yang menari-nari di pikirannya. Bahkan salah satu hasil sulaman beliau yang
menggambarkan “Penyaliban Jesus di Golgota” mendapatkan penghargaan rekor MURI
sebagai sebuah sulaman terbesar dengan ukuran 90 x 400 cm. Dan itu pun dibuat
tanpa contoh, alias mengandalkan imajinasi beliau. “Sulaman terbesar ini saya buat selama 3,5 tahun, saat saya menunggui
suami yang sedang sakit, jadi sambil menunggui, ya, sambil menyulam” ucap oma Dewi. Glek..saya pun menelan ludah. Hebat!,
inilah yang saya dan Rian sebut dengan orang yang bekerja dan berkarya dengan “lentera jiwa”-nya. Mereka lebih bisa
menginspirasi orang lain dari apa yang telah mereka lakukan selama ini atas
dasar “lentera jiwa” tadi.
Si Rian dengan sulaman terbesar yang sudah berpiagam MURI |
Salut
buat beliau! Saya mendapatkan inspirasi hari ini dari seorang oma Dewi atas
totalitas dan loyalitasnya yang tinggi pada sebuah pekerjaan. Oh ya, sekedar
informasi saja bahwa Museum Batik dan Sulaman ini beroperasi setiap hari kerja
yaitu Senin – Sabtu mulai pukul 09.00-12.00 dan 13.00-15.00 WIB. Lalu, untuk
hari Minggu/ libur masih dapat dikunjungi dengan menghubungi pihak museum terlebih
dahulu di nomor telepon (0274) 562 338. Di hari Minggu/ libur, museum ini masih
melayani kunjungan terutama untuk studi wisata atau bisa juga tamu personal
namun minimal 5 orang/kunjungan. Untuk tiket masuknya dikenai biaya sebesar
Rp.15.000,-/orang. Jangan dibandingkan dengan museum pemerintah yang hanya
Rp.3.000 - 5.000,-/orang ya, karena jelaslah bahwa museum ini dikelola secara
mandiri mulai dari perawatan koleksi hingga bangunannya. Saya berani menjamin,
harga ini masih terlalu murah jika dibandingkan banyaknya pengetahuan baru yang
bisa kita dapat di museum ini. Indonesia
has lot of Culture! Kenali Negerimu,
Cintai Negerimu!. Slogan ini semakin terasa saja, ya, jika tak kenal maka
tak sayang! :)
Sederhana namun luar biasa =) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar