|
Saya di ruang kerja Ki Hajar Dewantara @ Museum Dewantara Kirti Griya |
“Jalan-jalan saya ke museum tak akan
pernah berhenti!”,
itulah tekad saya dalam hati. Istilah bangsa yang besar adalah yang menghargai
sejarahnya memang tidak berlebihan. Jika melihat potret museum di luar negeri
yang selalu memiliki pamor, dan seketika menengok museum di negeri sendiri,
memang semacam ada hal yang salah dengan museum kita. Entah karena tidak adanya
interest dari masyarakatnya atau
pengelolaannya yang memang seadanya. Ya, saya pun selalu menemukan kendala
untuk sekedar mendapatkan teman jalan untuk berlabuh ke museum. “Hari gini mana ada kawan yang mau diajak
berwisata ke museum” pikir saya. Meskipun ada, hanya satu orang yaitu si
Rian yang bagi saya memiliki pemikiran-pemikirannya sendiri yang selalu
tertarik untuk mengetahui dan mempelajari hal baru. Dan selebihnya? Saya
cenderung menculik teman-teman yang tidak hobi ke museum dengan cara
membelokkan mereka ke museum sehabis acara shoping
atau hedonisme yang lain. Si Dhanti, misalnya, yang selalu menyerah pada
situasi untuk ikut ke museum karena berboncengan dengan saya. Hahaha…Not bad! Siapapun, setidak-tidak sukanya
dengan museum, dia akan tersenyum dan berpose bersama museum dalam kamera saya.
Haha.. :)
Kunjungan saya ke beberapa museum di
Jogja (lagi) akhirnya bisa diwujudkan dalam postingan Jogja Museums Review Part 2 ini. Jika di postingan sebelumnya saya
mengangkat 11 museum yang ada di Jogja, kali ini saya mencoba mengangkat
beberapa museum lagi yang mungkin belum banyak orang tahu tentang
keberadaannya. Dan Anda tahu?, setelah ngobrol-ngobrol
dengan pihak pengelola di salah satu museum ternyata terdapat sekitar 35 museum
di seluruh DIY!. Bahkan ada beberapa nama museum yang belum pernah saya dengar
sebelumnya. “Penasaran, atur otak, atur
jadwal dan atur waktu” itulah yang ada dalam pikiran saya untuk bisa
berkesempatan mengunjungi semuanya. Alon-alon
waton kelakon adalah prinsip yang saya gunakan dalam menyalurkan hobi
bermuseum saya. Ya, tidak perlu tergesa-gesa, cukup pelan-pelan saja asal
sampai di lokasi! Toh yang lebih penting adalah memaknainya daripada hanya
melakukan kunjungan seadanya. Kakak saya pun heran, adiknya sendiri (saya) yang
notabene sudah berusia 24 tahun kok masih hobi ke museum. Haha..Okelah, ini
hanya sedikit ulasan tentang asyiknya berwisata museum dari kacamata saya,
semoga bisa banyak membantu Anda yang memang ingin berwisata museum di Jogja
yang selalu istemewa ini.. :)
Museum Kereta Keraton Kasultanan Yogyakarta
|
Saya bersama salah satu kereta koleksi Museum Kereta Keraton Kasultanan :) |
Museum kereta yang satu ini memang
jelas berbeda. Berjudulkan kereta keraton memberikan arti bahwa koleksi yang
terdapat di dalamnya bukanlah serangkaian gerbong kereta uap atau yang
bermesin, melainkan sejumlah kereta yang ditarik dengan kuda-kuda keraton yang
tangguh. Jika semasa kecil kita sering mengakrabi sosok kereta-kereta kencana
di sejumlah dongeng kerajaan, maka kita pun akan mudah menemukannya di sini,
ya, di Museum Kereta Keraton Kasultanan Yogyakarta. Beberapa bulan yang lalu
saya mengunjungi museum ini bersama Dhanti, seorang teman yang bisa dipastikan
selalu berekspresi sedih ketika harus menemani saya ke museum. Penculikannya
berhasil. Saya sukses membawa Dhanti untuk mampir di museum yang lokasinya
berdekatan dengan Keraton Kasultanan Yogyakarta ini, ya, berada di sisi barat
lebih tepatnya. Cukup membayar Rp. 3.000,-/orang untuk tiket masuk dan biaya
kamera Rp. 1.000,- maka kami pun mulai menyusuri sudut demi sudut museum ini. Tidak
begitu besar memang, tapi bisa dijamin penuh dengan display kereta keraton yang bentuknya beragam. Ya, dari yang paling
sederhana sampai yang paling megah semuanya terpajang di museum ini.
|
Saya bersama koleksi Museum Kereta Keraton Kasultanan :) |
Dari
informasi yang saya peroleh di museum ini, ternyata kereta-kereta ini
dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah kereta yang
atapnya terbuka dan beroda dua. Umumnya jenis ini digunakan Sultan untuk
berekreasi atau pesiar. Kelompok kedua adalah kereta yang atapnya terbuka dan
beroda empat. Kereta jenis ini digunakan
oleh para golongan terpandang, baik pengawal Sultan, para penari keraton atau
bisa juga para komandan prajurit keraton. Kelompok terakhir adalah kereta
dengan atap tertutup dan beroda empat seperti kereta Nyai Jimat dan Kiai Garudayaksa. Kelompok yang terakhir ini khusus hanya
digunakan oleh Sultan dan keluarganya. Saya pun berdecak kagum ketika melihat
kereta Garudayaksa. Megah, mewah dan indah. Itulah kesan ketika saya
melihatnya. “Kereta di dalam
dongeng-dongeng kerajaan itu ada di hadapan saya sekarang” pikir saya.
|
Kereta Garudayaksa :) |
Sebuah
penjelasan tentang kereta Garudayaksa pun saya dapatkan. Kereta ini hanya
digunakan untuk penobatan Sultan baru sehingga sangatlah wajar jika harus megah
dan mewah, bahkan mendapatkan sebutan kereta kencana oleh pihak keraton. Sebuah
simbol garuda di kereta Garudayaksa ini pun terbuat dari emas 18 karat seberat
20 Kg! Konon katanya, simbol ini tidak boleh terlalu sering dibersihkan karena
akan mengikis lapisan emasnya sebesar 6-7 gram setiap kali digosok. Wah
bangkrut juga ya, jika harga emas per gramnya sekarang sekitar Rp. 500.000,-
berarti setiap pembersihannya membuang uang sebesar Rp. 3.500.000,! Selain
Garudayaksa, juga ada sebuah kereta yang mencuri perhatian saya. Namanya adalah
Roto Praloyo. Sebuah kereta tertutup, berbentuk balok yang dikelilingi dinding
kaca transparan, tampak begitu besar dan memiliki ruang yang luas di dalamnya.
Ternyata kereta ini adalah kereta jenazah yang dibeli pada masa pemerintahan
Sri Sultan HB VIII pada tahun 1938. Kereta ini bukan diimpor dari Belanda atau
negara Eropa seperti halnya kereta lainnya. Kereta ini asli made in Kampung Rotowijayan, Yogyakarta.
Ya, kereta berukuran besar dan luas ini pernah digunakan untuk membawa jenazah
Sri Sultan HB IX dari keraton menuju makam imogiri sebagai tempat
peristirahatan terakhir sultan.
|
Kereta Roto Praloyo :) |
Sejumlah
kereta lainnya pun dapat Anda nikmati di museum ini. Ya, itung-itung wisata
budaya sekaligus wisata sejarah. Koleksi kereta keraton di museum ini berjumlah
sekitar 23 buah dan menempati bangunan yang tidaklah luas. Cukup menyempatkan 1
jam saja, saya pun sudah menyambangi sudut demi sudutnya sekaligus menikmati
kemegahan-kemegahan kereta yang sering muncul dalam dongeng masa kecil saya.
Saya sarankan bagi Anda yang akan mengunjungi Keraton Kasultanan Yogyakarta
untuk sekalian mampir ke museum kereta ini, juga ke museum Senobudoyo yang
terletak di sisi utara Keraton untuk dapat mengenal kebudayaan Jawa terutama
Jogja secara lebih utuh. Enjoy museum anyway!
|
Dhanti bersama kereta biru Keraton :)
|
Museum Dewantara Kirti Griya
|
Suasana rumah Ki Hajar Dewantara :) |
Pernahkah
Anda mendengarnya? Belum? Lalu bagaimana dengan sosok Ki Hajar Dewantara yang
terkenal dengan semboyan Tut Wuri Handayani-nya? Saya yakin Anda pernah
mendengarnya. Ya, siapa tidak kenal Ki Hajar Dewantara yang memberikan peran
besar pada kemajuan pendidikan Indonesia di masa perjuangan kemerdekaan dulu.
Potret-potret keseharian kehidupan beliau dapat Anda nikmati di museum ini, ya,
di Dewantara Kirti Griya yang menyimpan makna dibalik namanya. Dewantara
diambil dari nama Ki Hajar Dewantara, Kirti berarti kerja dan Griya yang
berarti rumah, jelas menawarkan sudut-sudut rumah kerja Ki Hajar Dewantara yang
kental dengan topik pendidikan.
|
Koran, celemek dan cangkir yang sering digunakan Ki Hajar Dewantara :) |
Saya
pun mengunjunginya seorang diri (lagi-lagi) tanpa seorang partner pun yang
berkenan saya ajak berlabuh ke museum ini. Museum yang terletak di Jalan
Tamansiswa ini sangatlah mudah untuk ditemukan. Terletak di kompleks perguruan
Tamansiswa sebagai perguruan yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara, membuat
museum ini berada dalam satu keutuhan yang solid. Suasana sepi pun tak luput
hadir di museum ini. Ya, potret museum negeri ini yang bagi saya lebih
dikarenakan miskinnya nasionalisme bangsanya. Padahal museum yang merupakan
bekas rumah Ki Hajar Dewantara ini sangatlah rapi dan bersih, dengan semua
koleksi barangnya yang terawat baik. Seolah-olah saya kembali teringat pada
suasana rumah Bung Karno di Blitar. Sangat menghadirkan orisinilitas. Keramik
jadul bermotif mozaik pada lantainya, perabotan kayu dengan plitur yang masih
mengkilap, serta ruang demi ruangnya yang menceritakan kehidupan Ki Hajar
Dewantara secara tersirat sungguh berhasil membawa saya ke masa beberapa puluh
tahun lalu. Mulai dari ruang kerja beliau, ruang tamu, kamar tidur serta ruang
santai yang berisikan sebuah kursi goyang dengan koleksi buku yang banyak serta
sebuah cangkir kopi yang sering beliau gunakan dihadirkan di museum ini.
|
Saya bersama seperangkat perabotan yang sering digunakan Ki Hajar Dewantara :) |
Saya
pun salut pada perawatan museum yang sudah berdiri sejak tahun 1970an ini.
Adanya sebuah lembaga atau yayasan yang memang merawat museum ini, membuat
Dewantara Kirti Griya saya anggap sebagai museum yang meskipun mini, namun apik
serta memiliki pelayanan yang well-done!.
Seorang bapak pengurus museum pun tak segan menemani saya menyusuri sudut demi
sudutnya, dengan menceritakan sedikit historika di dalamnya. Ya, saya puas.
Museum ini pun tidak memungut biaya masuk sama sekali dan beroperasi dari jam
09.00-14.00 WIB dari hari Senin-Jum’at. Lakukan reservasi terlebih dulu jika
Anda ingin mengunjunginya selepas pukul 14.00 WIB atau di hari Sabtu-Minggu.
Saya yakin, Dewantara Kirti Griya siap memberikan pelayanan terbaik mereka bagi
Anda yang ingin menyusuri historika Ki Hajar Dewantara.
|
Meja kerja Nyi Hajar, istri Ki Hajar Dewantara :) |
Museum Keraton Pakualaman
|
Saya bersama lukisan pohon silsilah sepanjang 40 meter :) |
Tidak
hanya Keraton Kasultanan yang memiliki museum dengan beragam koleksinya yang
berbau budaya Jawa, Keraton Pakualaman yang terletak di Jalan Kusumanegara ini
ternyata juga menyimpan sejumlah koleksi unik yang menceritakan historika
Keraton Pakualaman sebagai keraton kedua di Yogyakarta. Apakah ini merupakan
kunjungan pertama saya?. Bukan. Ini merupakan kunjungan saya yang kelima
kalinya untuk sekedar menemukan kesempatan mengunjungi museum yang jarang
beroperasi ini. Ya, saya membutuhkan lima kali kunjungan hingga akhirnya abdi
dalem setempat mengatakan bahwa museum dapat dikunjungi siang itu. Inilah yang
saya sebut potret museum dalam negeri, hampir setiap museum di negeri kita
memiliki potret ini, ya, potret yang dapat diistilahkan “melempem” bak kerupuk.
Siang itu, keraton pakualaman tampak seperti biasanya. Sepi, tenang dan hanya
ada seorang abdi dalem yang duduk menjaga di pintu keraton dengan busana surjan
lurik biru, blangkon dan jarik motif Yogyakarta.
Semacam
kepuasan tersendiri ketika saya mendengar bahwa museum Keraton Pakualaman dapat
dikunjungi siang itu. Kegigihan saya terbayar. Saya pun harus mencari petugas
museum terlebih dahulu untuk dapat memasukinya. Tidak ada tiket masuk di museum
ini. Hanya mengisi buku tamu dan memberikan donasi seikhlasnya. Saya dan Rian
pun mendonasikan Rp. 20.000,- untuk kami berdua dengan harapan akan mendapat
penjelasan sejelas-jelasnya selama tur museum ini berlangsung. Ya, museum
Pakualaman memang menempati sebuah ruang yang tidak terlalu luas dan cenderung
klasik dengan tata display-nya yang
sederhana. Jika dibandingkan dengan Keraton Kasultanan, museum ini memang
terkesan kurang menarik. Padahal koleksinya cukup representatif dan dapat
menjadi sarana untuk mengenalkan Keraton Pakualaman ke masyarakat luas maupun
wisatawan.
|
Saya bersama mesin ketik dan meja kerja Sang Paku Alam :) |
Saya pun
memasuki ruang pertama dan menemukan sebuah koleksi yang menarik perhatian
saya. Sebuah gulungan yang menurut penjelasan petugas museum panjangnya dapat
mencapai 40 meter. Ya, gambaran pohon silsilah yang di setiap ranting dan
daunnya tertulis nama-nama trah Keraton Pakualaman. Sedikit berbeda dengan yang
saya temukan di Keraton Kasultanan, ya, di museum ini hanya terdapat satu
lukisan pohon silsilah dan sangat wajar jika memiliki panjang mencapai 40 meter
karena menyimpan data seluruh keturunan Paku Alam mulai dari Raja Paku Alam I
sampai dengan yang terkini. Sementara di Keraton Kasultanan, lukisan pohon
silsilah ini dipisahkan antara raja satu dengan lainnya. Observasi saya pun
berlanjut. Di ruang pertama ini juga menyimpan foto-foto Raja Paku Alam I
sampai Paku Alam yang terkini, dari foto personal sampai dengan foto-foto
aktivitas sang raja seperti melakukan kunjungan kenegaraan atau jamuan makan
malam yang dihadiri sejumlah bangsawan Belanda. Saya pun menyempatkan berfoto
bersama meja tulis gaya lesehan berserta mesin ketik manual yang sering
digunakan Raja Paku Alam untuk berkirim surat.
|
Saya dan Rian, berfoto kabur karena minimnya SDM museum hahaha :) |
Memasuki
ruangan kedua, saya ditemukan dengan sejumlah koleksi yang berbau budaya Jawa
khususnya Yogyakarta. Sejumlah manekin yang memperkenalkan busana-busana gaya
Yogyakarta, sejumlah gamelan dan alat-alat kesenian yang tertata rapi menyapa
saya di ruangan kedua ini. Sejumlah tulisan filosofi juga saya temukan.
Filosofi yang megingatkan bahwa manusia hendaknya selalu rendah hati dalam
kehidupannya. Bagi saya filosofi Jawa selalu memiliki ruh tersendiri dan
memberikan efek damai walaupun hanya dengan membaca atau mendengarnya. Saya pun
bergerak ke ruangan ketiga. Ruangan ketiga ini menyimpan sejumlah kereta
Keraton Pakualaman. Koleksi keretanya memang tidak sebanyak Keraton
Kasultananan, namun kereta-kereta ini tetap memegang fungsi dan peranannya
terutama dalam sejumlah acara kekeratonan. Saya pun menemukan sejumlah sesaji
di sudut-sudut ruangan ketiga ini, ya, kereta-kereta ini mendapatkan perawatan
istemewa dan mungkin juga terdapat upacara “bersih kereta” seperti yang umum
dilakukan di Museum Kereta Keraton Kasultanan.
|
Saya dan Rian bersama jajaran foto sang Paku Alam :) |
Observasi
saya di museum ini pun akhirnya berakhir. Meskipun sederhana, keberhasilan saya
mengunjungi museum ini memberikan semacam kepuasan tersendiri. Apalagi saya
jelas menyadari bahwa tidak setiap orang yang hobi ke museum, akan mendapatkan
kesempatan untuk mengakses museum ini sewaktu-waktu. Semoga saja potret
“melempem” bak kerupuk segera dihapus dari sejumlah museum di negeri ini,
sehingga para pecinta museum tidak perlu melakukan kunjungan berulang kali
hanya untuk dapat sekali memasuki museum tersebut. Ya, museum itu menarik!
Museum Wayang Kekayon
|
Saya di halaman depan Museum Wayang Kekayon :) |
Pagi ini, seperti biasanya saya
membuka handphone saya untuk sekedar
mengecek sms yang masuk semalaman. Saya pun membaca tanggal yang tercantum di
LCD handphone saya. Ternyata sudah
tanggal 26 Juni 2012. Lagi-lagi saya tidak menyadari bahwa sudah berada di
akhir bulan. Parahnya, saya semakin tidak produktif dalam mengisi blog saya
dengan postingan. Bukan karena saya sibuk jalan-jalan, tapi lebih karena harus
mencari sesuap nasi dan sebongkah berlian. Haha.. Ya, jujur saya sangat
merindukan masa-masa dimana saya dapat berjalan-jalan kapan pun saya mau.
Sementara di sisi lain, saya menyadari bahwa hidup adalah sebuah pilihan yang
mengharuskan kita untuk memilih. Saya pun tidak mau menyesal di kemudian hari
karena terlalu menikmati masa muda tanpa mengisinya dengan tabungan-tabungan
masa depan. Haha..efeknya adalah akhirnya saya mencapai sebuah rekor, ya, saya
sudah menghabiskan 1 bulan lamanya untuk menulis postingan Jogja Museum Review part 2 dan belum kelar juga hingga saya
mengetikan tulisan di bagian ini. Oke, lets do it!
|
Saya bersama Wayang Geculan atau the Jockers Puppet |
Kunjungan saya ke Museum Wayang
Kekayon sudah hampir 3 minggu yang lalu. Seperti biasanya, saya pun ditemani
Rian untuk berkunjung ke museum ini. Museum Wayang Kekayon, sesuai namanya,
jelas menyimpan sejumlah koleksi wayang dengan beragam kriteria dan karakter
yang menarik. Museum yang terletak di Jalan Wonosari Km. 7 No. 277 ini pun
tidak terlalu sulit untuk kami temukan. Saya cukup bergerak ke selatan dari
jalan layang Janti dan berbelok ke arah timur setelah menemukan perempatan yang
kedua. Bangunan museum ini sebenarnya menarik. Di bagian depan terdapat sebuah
bangunan utama bergaya Joglo dengan pelatarannya yang luas, sementara ruang
pamer museum berada di sisi barat, terpisah dari bangunan utama. Beragam patung
pun menghiasi halaman museum ini. Mulai dari replika Soekarno-Hatta hingga
patung-patung yang berbau dewa-dewa kepercayaan Tionghoa. Sayangnya, halaman
museum ini kurang terawat dan terkesan angker dengan sejumlah bangkai mobil tua
yang tergeletak berkarat begitu saja di halamannya. Oh ya, tidak ada tiket masuk
yang saya dapatkan, tapi saya diharuskan membayar Rp.7.000,-/orang dan mengisi
buku tamu sesuai dengan aturan yang tertempel di dinding, dekat pintu masuk.
|
Perang Bharatayuda :) |
Ruang
pamer Museum Wayang Kekayon ini terbagi menjadi beberapa ruangan yang tersusun
memanjang, dimulai dari sisi utara sebagai awal mula hingga ke selatan. Saya
pun segera mencari tahu tentang koleksi wayang yang terdapat di museum ini,
ruang demi ruangnya. Sejumlah karakter wayang terpajang di museum ini. Mulai
dari wayang-wayang cerita pandawa dan kawan-kawannya (para prabu, ratu, batari
dan batara), wayang geculan (jockers
puppet) yang sering digunakan dalam cerita lelucon, hingga wayang-wayang
dengan karakter para pejuang kemerdekaan yang tentunya digunakan untuk
menceritakan perjuangan meraih kemerdekaan. Dari semua koleksi, saya lebih
tertarik pada sejumlah wayang yang digunakan untuk penyebaran agama, ya, di
museum ini tersimpan sejumlah wayang dengan karakter dari kisah perjanjian lama
umat Kristiani maupun yang berkaitan dengan penyebaran agama Islam. Wayang
sebagai sarana penyebaran agama atau dakwah memang seringkali digunakan pada
masa lampau. Wayang-wayang ini memberikan bukti bahwa menggunakan kebudayaan
dan tradisi lokal adalah cara yang paling efektif untuk berbaur dengan
masyarakat hingga dapat menimbulkan suatu kesepahaman di antaranya.
|
Rian bersama karakter wayang perjuangan :) |
Wayang
sebagai representasi keberagaman budaya juga terbaca di museum ini. Beragam
wayang gaya Yogyakarta, Solo, Sunda bahkan beberapa puppet yang berasal dari luar negeri seperti Thailand, India, dan
Eropa jelas menceritakan kekayaan budaya daerah asalnya. Perjalanan saya di
museum ini pun berakhir, ya, ditutup dengan sejumlah patung dalam boks kaca
yang mewakili karakter-karakter dari cerita Rama Shinta. Bagi saya museum ini
memiliki koleksi wayang yang lengkap dengan bangunan ruang pamer yang baru
(selesai direnovasi April 2012 lalu) namun sangatlah minim dalam informasi. Meskipun
saya membaca setiap keterangan di bawahnya, tetap saja cerita pewayangan
bukanlah hal yang akrab bagi pribadi saya. Andai saja, terdapat pemandu yang
memahami cerita pewayangan dan berkenan menjelaskan setiap cerita yang
tergambar pasti akan lebih menarik wisatawan. Tapi, siapa yang mau rugi? Ketika
saya berkunjung ke museum ini tidak ada pengunjung lain kecuali saya dan Rian.
Museum ini sama sepinya dengan kebanyakan museum yang lain. Sepi pengunjung dan
sepi informasi. Pengelola tentunya juga tidak mau rugi ketika menyadari bahwa
museumnya sepi pengunjung. Dilemma permuseuman negeri yang tak kunjung
tersolusi dengan baik, ya, sampai kapan ya? Semoga secepatnya deh!
|
Saya di halaman Museum Wayang Kekayon :)
|
|
Love is you haha.. |
Rumah Budaya Tembi
|
Kami di Bale Karya @ Rumah Budaya Tembi |
Ingin
melihat budaya Jawa khususnya Jogja dengan lebih menarik?. Rumah Budaya Tembi
tempatnya. Bagi saya tempat ini highly
recommended. Sebelumnya saya mengetahui tempat ini dari web yang membahas
wisata museum Jogja dan ternyata saya mendapatkan lebih dari sekedar wisata
museum ketika mengunjunginya. Ya, jika di Sleman terdapat Museum Ullen Sentalu,
di Bantul terdapat Rumah Budaya Tembi yang menghadirkan suasana njawani nan kental. Di tempat ini tidak
hanya terdapat museum, melainkan sejumlah cottage
dengan gaya khas rumah kayu pedesaan dengan sawah menghijau yang mengitari
lokasi ini. Sungguh tidak menyesal. Kali ini saya berkunjung ke Rumah Budaya
Tembi tidak seorang diri atau hanya berdua dengan Rian seperti biasanya. Ya,
saya ditemani Dhanti, Amal, Satria dan Rian yang sebelumnya kami berwisata
kuliner seafood terlebih dahulu di
Pantai Depok, Bantul.
|
Kami di Bale Inap, jajaran cottage bergaya tradisional :) |
Istilahnya
hanya mampir. Namun mampir ke Rumah Budaya Tembi ternyata sebuah kebetulan yang
menyenangkan. Ketika kami memasuki area ini, kami disambut oleh seorang satpam
yang menanyakan maksud dan tujuan kami berkunjung. “Kami hanya ingin jalan-jalan pak, melihat ada apa saja di Rumah Budaya
Tembi” begitu jawab saya. Pak satpam pun segera mempersilahkan kami untuk
menjelajahi Rumah Budaya Tembi ini dan menunjukkan dari arah mana kami harus
memulainya. Satu lagi, untuk sekedar muter-muter
dan melihat ada apa saja di Rumah Budaya Tembi ini sama sekali tidak dipungut
biaya alias gratis-tis!. Ya, tentunya berbeda jika Anda ingin menginap di cottage-cottage nya atau ingin belajar
membatik di sana. Ada tarif tersendiri pastinya. Kami pun mulai berjalan di
area cottage. Ternyata tidak hanya
tamu domestik, para bule pun banyak kami temukan disana. Sebagian besar dari mereka sedang berada di kafe (dengan
suasana yang njawani tentunya), entah
sekedar ngobrol sambil menikmati
secangkir kopi maupun sibuk belajar membatik. Suasana asimilasi budaya yang
menarik!
|
Saya bersama koleksi sepeda onthel tempo dulu :) |
Rumah
Budaya Tembi terletak di Jalan Parangtritris Km. 8,4 Sewon, Bantul, Yogyakarta
sehingga pun pasti akan melewatinya
ketika berwisata ke Pantai Parangtritis. ”Balutan
sejarah yang kental dengan latar belakang dan perjalanan hidup pemiliknya
merupakan bentuk penghargaannya sebuah proses kehidupan yang menjadikan tempat
ini sebagai Museum Hidup yang selalu memberi inspirasi serta kekuatan”.
Begitulah kata-kata yang saya kutip dari pamflet yang saya peroleh di Rumah
Budaya Tembi. Tidak berlebihan. Rumah Budaya Tembi memang sukses menjadi museum
hidup dengan segala isinya. Lalu di manakah letak museumnya? Ya, Rumah Budaya
Tembi terbagi menjadi beberapa bagian antara lain Bale Dokumentasi, Bale Rupa,
Bale Karya dan Bale Inap yang dilengkapi dengan sebuah kolam renang.
|
Saya dan Dhanti bersama koleksi naskah kuno |
Di Balai
dokumentasi inilah museum Tembi terdapat. Di bagian ini saya pun menikmati
sejumlah koleksi benda kuno mulai dari buku dan naskah kuno, sejumlah sepeda
onthel jadul dan juga beberapa poster iklan tempo dulu. Sangat menarik.
Beberapa buku dan naskah kuno ini memang benar-benar bertuliskan naskah dengan
aksara jawa. Tersimpan rapi dalam boks kayu-kaca yang pelitur dan kacanya
begitu mengkilat. Sungguh terawat. Saya pun melihat beberapa foto yang
terpajang di dinding Bale Dokumentasi. Sejumlah foto yang menggambarkan
beberapa lokasi di Jogja tempo dulu. Kami pun bergerak ke Bale Dokumentasi
berikutnya. Di dekat pintu, kami bertemu dengan seorang seniman wayang sedang
asyik mengecat wayang kulit yang dibuatnya. Di Bale Dokumentasi kedua ini
terdapat koleksi keris yang beragam, topeng yang berwarna-warni, wayang, dan
dua buah display alat batik lengkap
dengan dingklik, canting dan lilin coklat di atas tungku tradisionalnya. Sebuah
piano coklat juga terdapat di ruangan ini dan beruntung sekali ketika kami
datang, seorang seniman Tembi sedang memainkan not demi not dengan apiknya di
atas tuts piano ini. Di bagian ini juga dipamerkan ruangan kamar bergaya jawa
klasik dengan tempat tidurnya yang terbuat dari kayu berukir. Puas. Itulah yang
saya rasakan ketika mengunjungi seluruh bagian Bale Dokumentasi ini.
|
Saya bersama potret sudut-sudut Jogja Tempo Doeloe |
Saya dan
teman-teman pun begerak ke Bale Rupa. Di tempat ini sering dipajang beragam
lukisan dari para perupa. Rumah Budaya Tembi memang sengaja menghadirkan Bale
Rupa ini sebagai wadah untuk mengapresiasi karya seni lukis dari beberapa
pelukis baik lokal maupun mancanegara. Ketika kami berkunjung, sejumlah lukisan
karya Eva Bubla yang berasal dari Hongaria sedang meramaikan Bale ini. Berjudul
“All Eye Am” lukisan-lukisan Eva mengangkat tema realitas yang dihadirkan
dengan indah. “Sederhana tapi berjiwa”
itulah yang disebutkan sang kurator terhadap lukisan-lukisan Eva yang bagi saya
memang berbicara banyak. Kami pun melanjutkan ke Bale Karya. Di bagian ini
terdapat sebuah panggung mini terbuka yangs sering digunakan untuk pertunjukan
musik, teater dan tari. Berlatarkan sawah yang terhampar luas, menjadikan Bale
Karya sebagai tempat yang “simple but
luxurious” dengan suasananya yang menjual. Selesai mengunjungi semua
bagiannya, saya dan kawan-kawan pun segera beranjak dari Rumah Budaya Tembi.
Bukan sekedar museum, tapi museum hidup memang sangat tepat bagi Tembi.
|
Amal dan Dhanti bersama display alat membatik :) |
|
Koleksi topeng Bale Dokumentasi @ Rumah Budaya Tembi
|
|
Gambaran kamar tidur Jawa Klasik :) |
|
Bale Dokumentasi Rumah Budaya Tembi :) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar