Minggu, 01 Juli 2012

Jogja Museums Review Part 2


Saya di ruang kerja Ki Hajar Dewantara @ Museum Dewantara Kirti Griya

       
               “Jalan-jalan saya ke museum tak akan pernah berhenti!”, itulah tekad saya dalam hati. Istilah bangsa yang besar adalah yang menghargai sejarahnya memang tidak berlebihan. Jika melihat potret museum di luar negeri yang selalu memiliki pamor, dan seketika menengok museum di negeri sendiri, memang semacam ada hal yang salah dengan museum kita. Entah karena tidak adanya interest dari masyarakatnya atau pengelolaannya yang memang seadanya. Ya, saya pun selalu menemukan kendala untuk sekedar mendapatkan teman jalan untuk berlabuh ke museum. “Hari gini mana ada kawan yang mau diajak berwisata ke museum” pikir saya. Meskipun ada, hanya satu orang yaitu si Rian yang bagi saya memiliki pemikiran-pemikirannya sendiri yang selalu tertarik untuk mengetahui dan mempelajari hal baru. Dan selebihnya? Saya cenderung menculik teman-teman yang tidak hobi ke museum dengan cara membelokkan mereka ke museum sehabis acara shoping atau hedonisme yang lain. Si Dhanti, misalnya, yang selalu menyerah pada situasi untuk ikut ke museum karena berboncengan dengan saya. Hahaha…Not bad! Siapapun, setidak-tidak sukanya dengan museum, dia akan tersenyum dan berpose bersama museum dalam kamera saya. Haha.. :)


            Kunjungan saya ke beberapa museum di Jogja (lagi) akhirnya bisa diwujudkan dalam postingan Jogja Museums Review Part 2 ini. Jika di postingan sebelumnya saya mengangkat 11 museum yang ada di Jogja, kali ini saya mencoba mengangkat beberapa museum lagi yang mungkin belum banyak orang tahu tentang keberadaannya. Dan Anda tahu?, setelah ngobrol-ngobrol dengan pihak pengelola di salah satu museum ternyata terdapat sekitar 35 museum di seluruh DIY!. Bahkan ada beberapa nama museum yang belum pernah saya dengar sebelumnya. “Penasaran, atur otak, atur jadwal dan atur waktu” itulah yang ada dalam pikiran saya untuk bisa berkesempatan mengunjungi semuanya. Alon-alon waton kelakon adalah prinsip yang saya gunakan dalam menyalurkan hobi bermuseum saya. Ya, tidak perlu tergesa-gesa, cukup pelan-pelan saja asal sampai di lokasi! Toh yang lebih penting adalah memaknainya daripada hanya melakukan kunjungan seadanya. Kakak saya pun heran, adiknya sendiri (saya) yang notabene sudah berusia 24 tahun kok masih hobi ke museum. Haha..Okelah, ini hanya sedikit ulasan tentang asyiknya berwisata museum dari kacamata saya, semoga bisa banyak membantu Anda yang memang ingin berwisata museum di Jogja yang selalu istemewa ini.. :)

Museum Kereta Keraton Kasultanan Yogyakarta
Saya bersama salah satu kereta koleksi Museum Kereta Keraton Kasultanan :)
            Museum kereta yang satu ini memang jelas berbeda. Berjudulkan kereta keraton memberikan arti bahwa koleksi yang terdapat di dalamnya bukanlah serangkaian gerbong kereta uap atau yang bermesin, melainkan sejumlah kereta yang ditarik dengan kuda-kuda keraton yang tangguh. Jika semasa kecil kita sering mengakrabi sosok kereta-kereta kencana di sejumlah dongeng kerajaan, maka kita pun akan mudah menemukannya di sini, ya, di Museum Kereta Keraton Kasultanan Yogyakarta. Beberapa bulan yang lalu saya mengunjungi museum ini bersama Dhanti, seorang teman yang bisa dipastikan selalu berekspresi sedih ketika harus menemani saya ke museum. Penculikannya berhasil. Saya sukses membawa Dhanti untuk mampir di museum yang lokasinya berdekatan dengan Keraton Kasultanan Yogyakarta ini, ya, berada di sisi barat lebih tepatnya. Cukup membayar Rp. 3.000,-/orang untuk tiket masuk dan biaya kamera Rp. 1.000,- maka kami pun mulai menyusuri sudut demi sudut museum ini. Tidak begitu besar memang, tapi bisa dijamin penuh dengan display kereta keraton yang bentuknya beragam. Ya, dari yang paling sederhana sampai yang paling megah semuanya terpajang di museum ini.

Saya bersama koleksi Museum Kereta Keraton Kasultanan :)
            Dari informasi yang saya peroleh di museum ini, ternyata kereta-kereta ini dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah kereta yang atapnya terbuka dan beroda dua. Umumnya jenis ini digunakan Sultan untuk berekreasi atau pesiar. Kelompok kedua adalah kereta yang atapnya terbuka dan beroda empat.  Kereta jenis ini digunakan oleh para golongan terpandang, baik pengawal Sultan, para penari keraton atau bisa juga para komandan prajurit keraton. Kelompok terakhir adalah kereta dengan atap tertutup dan beroda empat seperti kereta Nyai Jimat dan Kiai Garudayaksa.  Kelompok yang terakhir ini khusus hanya digunakan oleh Sultan dan keluarganya. Saya pun berdecak kagum ketika melihat kereta Garudayaksa. Megah, mewah dan indah. Itulah kesan ketika saya melihatnya. “Kereta di dalam dongeng-dongeng kerajaan itu ada di hadapan saya sekarang” pikir saya.

Kereta Garudayaksa :)
            Sebuah penjelasan tentang kereta Garudayaksa pun saya dapatkan. Kereta ini hanya digunakan untuk penobatan Sultan baru sehingga sangatlah wajar jika harus megah dan mewah, bahkan mendapatkan sebutan kereta kencana oleh pihak keraton. Sebuah simbol garuda di kereta Garudayaksa ini pun terbuat dari emas 18 karat seberat 20 Kg! Konon katanya, simbol ini tidak boleh terlalu sering dibersihkan karena akan mengikis lapisan emasnya sebesar 6-7 gram setiap kali digosok. Wah bangkrut juga ya, jika harga emas per gramnya sekarang sekitar Rp. 500.000,- berarti setiap pembersihannya membuang uang sebesar Rp. 3.500.000,! Selain Garudayaksa, juga ada sebuah kereta yang mencuri perhatian saya. Namanya adalah Roto Praloyo. Sebuah kereta tertutup, berbentuk balok yang dikelilingi dinding kaca transparan, tampak begitu besar dan memiliki ruang yang luas di dalamnya. Ternyata kereta ini adalah kereta jenazah yang dibeli pada masa pemerintahan Sri Sultan HB VIII pada tahun 1938. Kereta ini bukan diimpor dari Belanda atau negara Eropa seperti halnya kereta lainnya. Kereta ini asli made in Kampung Rotowijayan, Yogyakarta. Ya, kereta berukuran besar dan luas ini pernah digunakan untuk membawa jenazah Sri Sultan HB IX dari keraton menuju makam imogiri sebagai tempat peristirahatan terakhir sultan.

Kereta Roto Praloyo :)
            Sejumlah kereta lainnya pun dapat Anda nikmati di museum ini. Ya, itung-itung wisata budaya sekaligus wisata sejarah. Koleksi kereta keraton di museum ini berjumlah sekitar 23 buah dan menempati bangunan yang tidaklah luas. Cukup menyempatkan 1 jam saja, saya pun sudah menyambangi sudut demi sudutnya sekaligus menikmati kemegahan-kemegahan kereta yang sering muncul dalam dongeng masa kecil saya. Saya sarankan bagi Anda yang akan mengunjungi Keraton Kasultanan Yogyakarta untuk sekalian mampir ke museum kereta ini, juga ke museum Senobudoyo yang terletak di sisi utara Keraton untuk dapat mengenal kebudayaan Jawa terutama Jogja secara lebih utuh. Enjoy museum anyway!

Dhanti bersama kereta biru Keraton :)

Museum Dewantara Kirti Griya
Suasana rumah Ki Hajar Dewantara :)
            Pernahkah Anda mendengarnya? Belum? Lalu bagaimana dengan sosok Ki Hajar Dewantara yang terkenal dengan semboyan Tut Wuri Handayani-nya? Saya yakin Anda pernah mendengarnya. Ya, siapa tidak kenal Ki Hajar Dewantara yang memberikan peran besar pada kemajuan pendidikan Indonesia di masa perjuangan kemerdekaan dulu. Potret-potret keseharian kehidupan beliau dapat Anda nikmati di museum ini, ya, di Dewantara Kirti Griya yang menyimpan makna dibalik namanya. Dewantara diambil dari nama Ki Hajar Dewantara, Kirti berarti kerja dan Griya yang berarti rumah, jelas menawarkan sudut-sudut rumah kerja Ki Hajar Dewantara yang kental dengan topik pendidikan.

Koran, celemek dan cangkir yang sering digunakan Ki Hajar Dewantara :)
            Saya pun mengunjunginya seorang diri (lagi-lagi) tanpa seorang partner pun yang berkenan saya ajak berlabuh ke museum ini. Museum yang terletak di Jalan Tamansiswa ini sangatlah mudah untuk ditemukan. Terletak di kompleks perguruan Tamansiswa sebagai perguruan yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara, membuat museum ini berada dalam satu keutuhan yang solid. Suasana sepi pun tak luput hadir di museum ini. Ya, potret museum negeri ini yang bagi saya lebih dikarenakan miskinnya nasionalisme bangsanya. Padahal museum yang merupakan bekas rumah Ki Hajar Dewantara ini sangatlah rapi dan bersih, dengan semua koleksi barangnya yang terawat baik. Seolah-olah saya kembali teringat pada suasana rumah Bung Karno di Blitar. Sangat menghadirkan orisinilitas. Keramik jadul bermotif mozaik pada lantainya, perabotan kayu dengan plitur yang masih mengkilap, serta ruang demi ruangnya yang menceritakan kehidupan Ki Hajar Dewantara secara tersirat sungguh berhasil membawa saya ke masa beberapa puluh tahun lalu. Mulai dari ruang kerja beliau, ruang tamu, kamar tidur serta ruang santai yang berisikan sebuah kursi goyang dengan koleksi buku yang banyak serta sebuah cangkir kopi yang sering beliau gunakan dihadirkan di museum ini.

Saya bersama seperangkat perabotan yang sering digunakan Ki Hajar Dewantara :)
            Saya pun salut pada perawatan museum yang sudah berdiri sejak tahun 1970an ini. Adanya sebuah lembaga atau yayasan yang memang merawat museum ini, membuat Dewantara Kirti Griya saya anggap sebagai museum yang meskipun mini, namun apik serta memiliki pelayanan yang well-done!. Seorang bapak pengurus museum pun tak segan menemani saya menyusuri sudut demi sudutnya, dengan menceritakan sedikit historika di dalamnya. Ya, saya puas. Museum ini pun tidak memungut biaya masuk sama sekali dan beroperasi dari jam 09.00-14.00 WIB dari hari Senin-Jum’at. Lakukan reservasi terlebih dulu jika Anda ingin mengunjunginya selepas pukul 14.00 WIB atau di hari Sabtu-Minggu. Saya yakin, Dewantara Kirti Griya siap memberikan pelayanan terbaik mereka bagi Anda yang ingin menyusuri historika Ki Hajar Dewantara.

Meja kerja Nyi Hajar, istri Ki Hajar Dewantara :)

Museum Keraton Pakualaman
Saya bersama lukisan pohon silsilah sepanjang 40 meter :)
            Tidak hanya Keraton Kasultanan yang memiliki museum dengan beragam koleksinya yang berbau budaya Jawa, Keraton Pakualaman yang terletak di Jalan Kusumanegara ini ternyata juga menyimpan sejumlah koleksi unik yang menceritakan historika Keraton Pakualaman sebagai keraton kedua di Yogyakarta. Apakah ini merupakan kunjungan pertama saya?. Bukan. Ini merupakan kunjungan saya yang kelima kalinya untuk sekedar menemukan kesempatan mengunjungi museum yang jarang beroperasi ini. Ya, saya membutuhkan lima kali kunjungan hingga akhirnya abdi dalem setempat mengatakan bahwa museum dapat dikunjungi siang itu. Inilah yang saya sebut potret museum dalam negeri, hampir setiap museum di negeri kita memiliki potret ini, ya, potret yang dapat diistilahkan “melempem” bak kerupuk. Siang itu, keraton pakualaman tampak seperti biasanya. Sepi, tenang dan hanya ada seorang abdi dalem yang duduk menjaga di pintu keraton dengan busana surjan lurik biru, blangkon dan jarik motif Yogyakarta.
            Semacam kepuasan tersendiri ketika saya mendengar bahwa museum Keraton Pakualaman dapat dikunjungi siang itu. Kegigihan saya terbayar. Saya pun harus mencari petugas museum terlebih dahulu untuk dapat memasukinya. Tidak ada tiket masuk di museum ini. Hanya mengisi buku tamu dan memberikan donasi seikhlasnya. Saya dan Rian pun mendonasikan Rp. 20.000,- untuk kami berdua dengan harapan akan mendapat penjelasan sejelas-jelasnya selama tur museum ini berlangsung. Ya, museum Pakualaman memang menempati sebuah ruang yang tidak terlalu luas dan cenderung klasik dengan tata display-nya yang sederhana. Jika dibandingkan dengan Keraton Kasultanan, museum ini memang terkesan kurang menarik. Padahal koleksinya cukup representatif dan dapat menjadi sarana untuk mengenalkan Keraton Pakualaman ke masyarakat luas maupun wisatawan.

Saya bersama mesin ketik dan meja kerja Sang Paku Alam :)
Saya pun memasuki ruang pertama dan menemukan sebuah koleksi yang menarik perhatian saya. Sebuah gulungan yang menurut penjelasan petugas museum panjangnya dapat mencapai 40 meter. Ya, gambaran pohon silsilah yang di setiap ranting dan daunnya tertulis nama-nama trah Keraton Pakualaman. Sedikit berbeda dengan yang saya temukan di Keraton Kasultanan, ya, di museum ini hanya terdapat satu lukisan pohon silsilah dan sangat wajar jika memiliki panjang mencapai 40 meter karena menyimpan data seluruh keturunan Paku Alam mulai dari Raja Paku Alam I sampai dengan yang terkini. Sementara di Keraton Kasultanan, lukisan pohon silsilah ini dipisahkan antara raja satu dengan lainnya. Observasi saya pun berlanjut. Di ruang pertama ini juga menyimpan foto-foto Raja Paku Alam I sampai Paku Alam yang terkini, dari foto personal sampai dengan foto-foto aktivitas sang raja seperti melakukan kunjungan kenegaraan atau jamuan makan malam yang dihadiri sejumlah bangsawan Belanda. Saya pun menyempatkan berfoto bersama meja tulis gaya lesehan berserta mesin ketik manual yang sering digunakan Raja Paku Alam untuk berkirim surat.

Saya dan Rian, berfoto kabur karena minimnya SDM museum hahaha :)
Memasuki ruangan kedua, saya ditemukan dengan sejumlah koleksi yang berbau budaya Jawa khususnya Yogyakarta. Sejumlah manekin yang memperkenalkan busana-busana gaya Yogyakarta, sejumlah gamelan dan alat-alat kesenian yang tertata rapi menyapa saya di ruangan kedua ini. Sejumlah tulisan filosofi juga saya temukan. Filosofi yang megingatkan bahwa manusia hendaknya selalu rendah hati dalam kehidupannya. Bagi saya filosofi Jawa selalu memiliki ruh tersendiri dan memberikan efek damai walaupun hanya dengan membaca atau mendengarnya. Saya pun bergerak ke ruangan ketiga. Ruangan ketiga ini menyimpan sejumlah kereta Keraton Pakualaman. Koleksi keretanya memang tidak sebanyak Keraton Kasultananan, namun kereta-kereta ini tetap memegang fungsi dan peranannya terutama dalam sejumlah acara kekeratonan. Saya pun menemukan sejumlah sesaji di sudut-sudut ruangan ketiga ini, ya, kereta-kereta ini mendapatkan perawatan istemewa dan mungkin juga terdapat upacara “bersih kereta” seperti yang umum dilakukan di Museum Kereta Keraton Kasultanan.

Saya dan Rian bersama jajaran foto sang Paku Alam :)
Observasi saya di museum ini pun akhirnya berakhir. Meskipun sederhana, keberhasilan saya mengunjungi museum ini memberikan semacam kepuasan tersendiri. Apalagi saya jelas menyadari bahwa tidak setiap orang yang hobi ke museum, akan mendapatkan kesempatan untuk mengakses museum ini sewaktu-waktu. Semoga saja potret “melempem” bak kerupuk segera dihapus dari sejumlah museum di negeri ini, sehingga para pecinta museum tidak perlu melakukan kunjungan berulang kali hanya untuk dapat sekali memasuki museum tersebut. Ya, museum itu menarik!

Museum Wayang Kekayon  
Saya di halaman depan Museum Wayang Kekayon :)
            Pagi ini, seperti biasanya saya membuka handphone saya untuk sekedar mengecek sms yang masuk semalaman. Saya pun membaca tanggal yang tercantum di LCD handphone saya. Ternyata sudah tanggal 26 Juni 2012. Lagi-lagi saya tidak menyadari bahwa sudah berada di akhir bulan. Parahnya, saya semakin tidak produktif dalam mengisi blog saya dengan postingan. Bukan karena saya sibuk jalan-jalan, tapi lebih karena harus mencari sesuap nasi dan sebongkah berlian. Haha.. Ya, jujur saya sangat merindukan masa-masa dimana saya dapat berjalan-jalan kapan pun saya mau. Sementara di sisi lain, saya menyadari bahwa hidup adalah sebuah pilihan yang mengharuskan kita untuk memilih. Saya pun tidak mau menyesal di kemudian hari karena terlalu menikmati masa muda tanpa mengisinya dengan tabungan-tabungan masa depan. Haha..efeknya adalah akhirnya saya mencapai sebuah rekor, ya, saya sudah menghabiskan 1 bulan lamanya untuk menulis postingan Jogja Museum Review part 2 dan belum kelar juga hingga saya mengetikan tulisan di bagian ini. Oke, lets do it!

Saya bersama Wayang Geculan atau the Jockers Puppet
            Kunjungan saya ke Museum Wayang Kekayon sudah hampir 3 minggu yang lalu. Seperti biasanya, saya pun ditemani Rian untuk berkunjung ke museum ini. Museum Wayang Kekayon, sesuai namanya, jelas menyimpan sejumlah koleksi wayang dengan beragam kriteria dan karakter yang menarik. Museum yang terletak di Jalan Wonosari Km. 7 No. 277 ini pun tidak terlalu sulit untuk kami temukan. Saya cukup bergerak ke selatan dari jalan layang Janti dan berbelok ke arah timur setelah menemukan perempatan yang kedua. Bangunan museum ini sebenarnya menarik. Di bagian depan terdapat sebuah bangunan utama bergaya Joglo dengan pelatarannya yang luas, sementara ruang pamer museum berada di sisi barat, terpisah dari bangunan utama. Beragam patung pun menghiasi halaman museum ini. Mulai dari replika Soekarno-Hatta hingga patung-patung yang berbau dewa-dewa kepercayaan Tionghoa. Sayangnya, halaman museum ini kurang terawat dan terkesan angker dengan sejumlah bangkai mobil tua yang tergeletak berkarat begitu saja di halamannya. Oh ya, tidak ada tiket masuk yang saya dapatkan, tapi saya diharuskan membayar Rp.7.000,-/orang dan mengisi buku tamu sesuai dengan aturan yang tertempel di dinding, dekat pintu masuk.

Perang Bharatayuda :)
            Ruang pamer Museum Wayang Kekayon ini terbagi menjadi beberapa ruangan yang tersusun memanjang, dimulai dari sisi utara sebagai awal mula hingga ke selatan. Saya pun segera mencari tahu tentang koleksi wayang yang terdapat di museum ini, ruang demi ruangnya. Sejumlah karakter wayang terpajang di museum ini. Mulai dari wayang-wayang cerita pandawa dan kawan-kawannya (para prabu, ratu, batari dan batara), wayang geculan (jockers puppet) yang sering digunakan dalam cerita lelucon, hingga wayang-wayang dengan karakter para pejuang kemerdekaan yang tentunya digunakan untuk menceritakan perjuangan meraih kemerdekaan. Dari semua koleksi, saya lebih tertarik pada sejumlah wayang yang digunakan untuk penyebaran agama, ya, di museum ini tersimpan sejumlah wayang dengan karakter dari kisah perjanjian lama umat Kristiani maupun yang berkaitan dengan penyebaran agama Islam. Wayang sebagai sarana penyebaran agama atau dakwah memang seringkali digunakan pada masa lampau. Wayang-wayang ini memberikan bukti bahwa menggunakan kebudayaan dan tradisi lokal adalah cara yang paling efektif untuk berbaur dengan masyarakat hingga dapat menimbulkan suatu kesepahaman di antaranya.

Rian bersama karakter wayang perjuangan :)
            Wayang sebagai representasi keberagaman budaya juga terbaca di museum ini. Beragam wayang gaya Yogyakarta, Solo, Sunda bahkan beberapa puppet yang berasal dari luar negeri seperti Thailand, India, dan Eropa jelas menceritakan kekayaan budaya daerah asalnya. Perjalanan saya di museum ini pun berakhir, ya, ditutup dengan sejumlah patung dalam boks kaca yang mewakili karakter-karakter dari cerita Rama Shinta. Bagi saya museum ini memiliki koleksi wayang yang lengkap dengan bangunan ruang pamer yang baru (selesai direnovasi April 2012 lalu) namun sangatlah minim dalam informasi. Meskipun saya membaca setiap keterangan di bawahnya, tetap saja cerita pewayangan bukanlah hal yang akrab bagi pribadi saya. Andai saja, terdapat pemandu yang memahami cerita pewayangan dan berkenan menjelaskan setiap cerita yang tergambar pasti akan lebih menarik wisatawan. Tapi, siapa yang mau rugi? Ketika saya berkunjung ke museum ini tidak ada pengunjung lain kecuali saya dan Rian. Museum ini sama sepinya dengan kebanyakan museum yang lain. Sepi pengunjung dan sepi informasi. Pengelola tentunya juga tidak mau rugi ketika menyadari bahwa museumnya sepi pengunjung. Dilemma permuseuman negeri yang tak kunjung tersolusi dengan baik, ya, sampai kapan ya? Semoga secepatnya deh!

Saya di halaman Museum Wayang Kekayon :)

Love is you haha..

Rumah Budaya Tembi
Kami di Bale Karya @ Rumah Budaya Tembi
            Ingin melihat budaya Jawa khususnya Jogja dengan lebih menarik?. Rumah Budaya Tembi tempatnya. Bagi saya tempat ini highly recommended. Sebelumnya saya mengetahui tempat ini dari web yang membahas wisata museum Jogja dan ternyata saya mendapatkan lebih dari sekedar wisata museum ketika mengunjunginya. Ya, jika di Sleman terdapat Museum Ullen Sentalu, di Bantul terdapat Rumah Budaya Tembi yang menghadirkan suasana njawani nan kental. Di tempat ini tidak hanya terdapat museum, melainkan sejumlah cottage dengan gaya khas rumah kayu pedesaan dengan sawah menghijau yang mengitari lokasi ini. Sungguh tidak menyesal. Kali ini saya berkunjung ke Rumah Budaya Tembi tidak seorang diri atau hanya berdua dengan Rian seperti biasanya. Ya, saya ditemani Dhanti, Amal, Satria dan Rian yang sebelumnya kami berwisata kuliner seafood terlebih dahulu di Pantai Depok, Bantul.

Kami di Bale Inap, jajaran cottage bergaya tradisional :)
            Istilahnya hanya mampir. Namun mampir ke Rumah Budaya Tembi ternyata sebuah kebetulan yang menyenangkan. Ketika kami memasuki area ini, kami disambut oleh seorang satpam yang menanyakan maksud dan tujuan kami berkunjung. “Kami hanya ingin jalan-jalan pak, melihat ada apa saja di Rumah Budaya Tembi” begitu jawab saya. Pak satpam pun segera mempersilahkan kami untuk menjelajahi Rumah Budaya Tembi ini dan menunjukkan dari arah mana kami harus memulainya. Satu lagi, untuk sekedar muter-muter dan melihat ada apa saja di Rumah Budaya Tembi ini sama sekali tidak dipungut biaya alias gratis-tis!. Ya, tentunya berbeda jika Anda ingin menginap di cottage-cottage nya atau ingin belajar membatik di sana. Ada tarif tersendiri pastinya. Kami pun mulai berjalan di area cottage. Ternyata tidak hanya tamu domestik, para bule pun banyak kami temukan disana. Sebagian besar dari mereka sedang berada di kafe (dengan suasana yang njawani tentunya), entah sekedar ngobrol sambil menikmati secangkir kopi maupun sibuk belajar membatik. Suasana asimilasi budaya yang menarik!

Saya bersama koleksi sepeda onthel tempo dulu :)
            Rumah Budaya Tembi terletak di Jalan Parangtritris Km. 8,4 Sewon, Bantul, Yogyakarta sehingga  pun pasti akan melewatinya ketika berwisata ke Pantai Parangtritis. ”Balutan sejarah yang kental dengan latar belakang dan perjalanan hidup pemiliknya merupakan bentuk penghargaannya sebuah proses kehidupan yang menjadikan tempat ini sebagai Museum Hidup yang selalu memberi inspirasi serta kekuatan”. Begitulah kata-kata yang saya kutip dari pamflet yang saya peroleh di Rumah Budaya Tembi. Tidak berlebihan. Rumah Budaya Tembi memang sukses menjadi museum hidup dengan segala isinya. Lalu di manakah letak museumnya? Ya, Rumah Budaya Tembi terbagi menjadi beberapa bagian antara lain Bale Dokumentasi, Bale Rupa, Bale Karya dan Bale Inap yang dilengkapi dengan sebuah kolam renang.

Saya dan Dhanti bersama koleksi naskah kuno
Di Balai dokumentasi inilah museum Tembi terdapat. Di bagian ini saya pun menikmati sejumlah koleksi benda kuno mulai dari buku dan naskah kuno, sejumlah sepeda onthel jadul dan juga beberapa poster iklan tempo dulu. Sangat menarik. Beberapa buku dan naskah kuno ini memang benar-benar bertuliskan naskah dengan aksara jawa. Tersimpan rapi dalam boks kayu-kaca yang pelitur dan kacanya begitu mengkilat. Sungguh terawat. Saya pun melihat beberapa foto yang terpajang di dinding Bale Dokumentasi. Sejumlah foto yang menggambarkan beberapa lokasi di Jogja tempo dulu. Kami pun bergerak ke Bale Dokumentasi berikutnya. Di dekat pintu, kami bertemu dengan seorang seniman wayang sedang asyik mengecat wayang kulit yang dibuatnya. Di Bale Dokumentasi kedua ini terdapat koleksi keris yang beragam, topeng yang berwarna-warni, wayang, dan dua buah display alat batik lengkap dengan dingklik, canting dan lilin coklat di atas tungku tradisionalnya. Sebuah piano coklat juga terdapat di ruangan ini dan beruntung sekali ketika kami datang, seorang seniman Tembi sedang memainkan not demi not dengan apiknya di atas tuts piano ini. Di bagian ini juga dipamerkan ruangan kamar bergaya jawa klasik dengan tempat tidurnya yang terbuat dari kayu berukir. Puas. Itulah yang saya rasakan ketika mengunjungi seluruh bagian Bale Dokumentasi ini.

Saya bersama potret sudut-sudut Jogja Tempo Doeloe
Saya dan teman-teman pun begerak ke Bale Rupa. Di tempat ini sering dipajang beragam lukisan dari para perupa. Rumah Budaya Tembi memang sengaja menghadirkan Bale Rupa ini sebagai wadah untuk mengapresiasi karya seni lukis dari beberapa pelukis baik lokal maupun mancanegara. Ketika kami berkunjung, sejumlah lukisan karya Eva Bubla yang berasal dari Hongaria sedang meramaikan Bale ini. Berjudul “All Eye Am” lukisan-lukisan Eva mengangkat tema realitas yang dihadirkan dengan indah. “Sederhana tapi berjiwa” itulah yang disebutkan sang kurator terhadap lukisan-lukisan Eva yang bagi saya memang berbicara banyak. Kami pun melanjutkan ke Bale Karya. Di bagian ini terdapat sebuah panggung mini terbuka yangs sering digunakan untuk pertunjukan musik, teater dan tari. Berlatarkan sawah yang terhampar luas, menjadikan Bale Karya sebagai tempat yang “simple but luxurious” dengan suasananya yang menjual. Selesai mengunjungi semua bagiannya, saya dan kawan-kawan pun segera beranjak dari Rumah Budaya Tembi. Bukan sekedar museum, tapi museum hidup memang sangat tepat bagi Tembi.

Amal dan Dhanti bersama display alat membatik :)

Koleksi topeng Bale Dokumentasi @ Rumah Budaya Tembi

Gambaran kamar tidur Jawa Klasik :)

Bale Dokumentasi Rumah Budaya Tembi :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar