|
Pantai Teluk Penyu di bawah birunya langit, cantik! =)
|
Yup..!! tentunya jalan-jalan saya kali ini masih dalam dunia per-koas-an saya dalam mencapai derajat dokter hewan. Tapi, lama-lama saya berpikiran kok koas menjadi ajang berlibur ya? Hahaha..tak apalah. Toh saya berpikiran bahwa Indonesia, negara saya ini merupakan negara yang besar, belum tentu saya mendapat kesempatan berkunjung ke salah satu tempat di negara ini untuk berlibur. Jadi, ya dimanfaatkan saja sebaik mungkin. Apapun tugasnya, acaranya atau apalah itu namanya, saya selalu berusaha menyempatkan diri untuk sekedar menengok tempat wisata, makanan dan lain-lain yang ada dalam suatu wilayah. Kali ini liburan saya ada dalam masa kodin (koas dinas) yang mengharuskan saya dan sebelas kawan saya untuk mengikuti serangkaian acara kedinasan di stasiun karantina kelas I yang berada di pelabuhan Tanjung Intan Cilacap. Ya, bisa dilihat kalau dinasnya saja di pelabuhan, itu artinya saya bisa melihat pantai setidaknya laut setiap hari.
Haha! Suatu yang selalu menarik perhatian saya adalah laut. Tapi, saya juga tidak akan bercerita banyak mengenai kegiatan kodin saya di stasiun karantina Cilacap yang berhubungan dengan sapi-sapi yang baru datang dari Australia dengan segala uji-uji pemeriksaannya.
Cilacap, namanya juga kabupaten yang ada di pesisir. Apalagi kalau bukan pantai yang ditawarkan dalam pariwisatanya. Saya pun mengunjungi pantai Teluk Penyu, Benteng Pendem dan pulau Nusakambangan. Tapi, untuk pulau Nusakambangan saya akan menceritakannya dalam sesi yang berbeda lagi nanti. Ini merupakan pertama kalinya saya ke Cilacap, jadi ya masih dalam ”niat” jalan-jalan yang cukup besar untuk mencari segala sesuatu yang ada di kabupaten ini. Pantai Teluk Penyu, ya, ini adalah pantai yang dapat diakses dengan mengarah ke timur dari pusat kotanya. Tak banyak yang ditawarkan disini, justru saya seperti flashback ke pantai Pangandaran di Jawa Barat jika melihat layout pantai dan segala fasilitasnya. Di pantai ini, saya tetap heran bagaimana bisa dinamakan Teluk Penyu?, secara saya tidak menemukan pembudidayaan penyu, wisata penyu atau sejenisnya disana selain payung-payungan di tepi jalan sepanjang pantai yang dibentuk penyu dari cor-coran semen.Hahaha, but its doesn’t matter karena saya tetap menikmatinya kok, apalagi saya menyusurinya dengan sepeda motor pribadi dengan tenang pada sore harinya. Di pantai ini, setelah beberapa kali saya ke sana (karena saya merasa bahwa disanalah tempat yang asik ketika saya butuh hiburan daripada harus ke swalayan atau toserba di pusat kota) ternyata cukup menarik juga. Di sana terdapat permainan air banana boat, canoe bagi yang ingin ”canoing” dan juga pedagang souvenir dan ikan asin di sepanjang jalan pinggir pantai.
|
Salah satu sudut Benteng Pendem
|
Tak jauh dari jalan pinggir pantai terdapat benteng Pendem, sebuah benteng peninggalan kolonial Belanda yang dibangun (kalau tidak salah ingat) tahun 1861. Dinamakan benteng Pendem karena memang benteng ini (menurut cerita) sengaja dipendem (baca: dikubur) di dalam tanah oleh pihak kolonial agar tidak dapat terdeteksi oleh musuh. Biaya masuk kesana hanya dikenai Rp. 5000,- dan kita dapat menjelajahi kompleks taman yang ada bentengnya di dalamnya. Beragam ruangan pun diperkenalkan oleh papan petunjuk yang terdapat di dalam kompleks. Tapi, akhirnya kami terdorong juga untuk menggunakan guide yang akan membawa kami (saya dan ketiga teman saya) menjelajahi ruangan-ruangan yang terletak di dalam dan yang tidak mungkin kami kesana tanpa panduan mereka. Kami pun dibawa ke dalam beberapa ruangan di bagian dalam benteng yang saat itu kondisi laut sedang pasang sehingga kami pun harus rela menelusuri benteng dengan berbasah-basah ria dengan air sebatas lutut. Beberapa ruangan pun diperkenalkan, salah satunya adalah ruangan pemasungan dan penyiksaan tahanan yang konon katanya sering digunakan sebagai tempat ”uka-uka” dari program TV dunia lain dan semacamnya. Jujur, saya sendiri agak ngeri membayangkannya. Bagaimana tidak, dengan situasi gelap total, berair pasang dan hanya bermodalkan senter dari si guide yang menyorot ruangan tersebut. Tapi, sebenarnya saya lebih khwatir dengan isi air dimana kaki saya terendam dalam waktu yang lumayan lama sekitar 30 menit itu.
|
Kompleks benteng Pendem
|
Takutnya, ada ular atau apapun itu yang saya tidak inginkan untuk mampir di kaki saya. Akhirnya penjelasan pun berakhir, dan konyolnya, si guide yang cukup cerdik ini menarik biaya guide yang lumayan mahal menurut saya dan kawan-kawan. Bayangkan saja, Rp.30.000 untuk kami yang masih berkelas mahasiswa dan butuh suplai dana selama dinas di luar kota, dan mereka sedikit berbeda dengan guide-guide dari orang lokal yang umumnya saya temui di beberapa tempat wisata lainnya yang cenderung menjawab ”sak kersanipun mas” (baca: terserah mas) ketika saya tanyai berapa ongkosnya. Hahaha..ya niatnya wisata hemat, eh malah kepalak juga. Tapi tak apalah, belum tentu saya kesana lagi. Oh ya, bagi Anda yang ingin berbelanja di objek wisata Benteng Pendem ini, anda tidak perlu khawatir. Di akhir perjalanan di benteng ini, tepatnya ketika mengarah ke pintu keluar, kita akan menemukan serentetan kios souvenir yang berjejer rapi. Apalagi jika bukan kerajinan khas laut yang menjadi andalan! Hehehe..
|
Ini nih, kios souvenir dengan kerajinan khas lautnya! =)
Saya sudahi dulu mengenai benteng Pendem, saatnya saya kembali ke dunia per-pantai-an yang selalu menarik perhatian saya ke manapun saya berlibur di daerah yang terletak di pesisir. Jika matahari terbit (sunrise) di timur itu artinya untuk melihatnya saya harus ke pantai Teluk Penyu yang ada di sebelah timur pusat kota, tapi hal ini jelas tidak mungkin saya lakukan mengingat jam kerja yang mengharuskan saya masuk jam 07.30 W.I.B. sehingga sepagian saya pasti disibukkan dengan berbagai rutinitas pagi, apalagi gerakan sepagian saya cukup ”lelet”. Untuk itu saya memutuskan untuk mendapatkan jatah sunset saya di sore hari. Saya bersyukur untuk melihat sunset saya tidak harus pergi terlalu jauh untuk menuju pantai sebelah barat, karena rumah dimana saya nge-kost sangat dekat dengan pelabuhan Tanjung Intan yang terletak di pesisir barat. Jadi cukup naik sepeda motor, tidak sampai 5 menit saya pun sudah sampai di lokasi. Saat saya menunggu sunset ternyata banyak yang bisa dilakukan, salah satunya adalah dengan ”ngobrol” bareng penduduk setempat. Ya, termasuk untuk menggali informasi tentang pulau Nusakambangan yang ingin saya kunjungi sejak kecil. Lagipula, banyak sekali pasangan muda-mudi yang juga menunggu sunset. Hahaha..saya pun dengan cueknya menunggu sunset hanya seorang diri (karena saat itu semua kawan saya sedang disibukkan dengan kegiatan mencuci baju atau tiduran di kamar) sampai akhirnya hanya tersisa satu pasangan dan saya seorang diri (hanya bertiga!) di dermaga saat sunset tiba. Gile bener! saya benar-benar merasa ”krik-krik” ketika mereka sering melihat saya dengan pandangan yang seolah-olah berbicara ”hadehh ngapain sih tu orang nggaguin orang pacaran!”. Hihihi..bodo amat, yang saya cari kan sunset buat saya pribadi, bahkan seorang kawan yang saya sms saat itu untuk mengabarkan bahwa saya ”garing” banget menjadi setan bagi pasangan muda-mudi tersebut justru menaikkan status saya menjadi malaikat yang berfungsi menjaga pasangan muda-mudi tersebut! Haha..anyway sunset yang saya temukan tidak mengecewakan. Dengan matahari yang terbenam di balik pulau Nusakambangan, air laut yang memerah dan beberapa kapal berukuran sedang sampai besar sebagai penghiasnya, saya rasa lebih dari cukup untuk membuat saya relaks sejenak. Akhirnya saya memutuskan untuk pulang begitu adzan maghrib berkumandang. Yang jelas, saya akan tetap menyenangi pantai sebagai tempat mencari ketenangan sekaligus hiburan bagi jiwa dan pikiran saya. Beruntung, saya terlahir di bumi Indonesia, negara maritim terbesar yang tentunya terbanyak pula jumlah pantai yang bisa saya kunjungi. Maju terus pariwisata Indonesia!
|
|
suasana sunset di Pelabuhan Tanjung Intan, Cilacap |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar