Jumat, 13 April 2012

Candi Gebang: Memoar Dahulu dan Sekarang


Saya yang nyengir kepanasan di depan Candi Gebang


        Bagi saya sejarah memang tidak ada habisnya untuk digali. Jika anak muda seumuran saya tidak menyukai kunjungan ke museum ataupun candi dan cenderung lebih menyenangi mall, sebaliknya dengan saya. Ya, tidak munafik, kadang saya pun mencintai mall sebagai salah satu tempat alternatif untuk hang out, tapi berbeda ceritanya ketika berkunjung ke mall tanpa tujuan. Akhir-akhir ini, bisa dibilang saya akan ke mall hanya jika mencari suatu barang yang memang sedang saya butuhkan, entah berupa baju, celana, buku atau pun sekedar mencari tempat makan yang cozy. Kalau pun menemani seorang kawan, pasti saya akan bertanya terlebih dahulu apa tujuannya mengajak saya ke mall. Jadi perlu dicatat: bukan untuk ke mall tanpa tujuan!. Di sisi lain, perjalanan menyusuri sejarah jelas lebih menarik perhatian saya ketimbang hang out ke mall tanpa tujuan. Apalagi sejarah bangsa sendiri yang sudah seharusnya saya kenali dengan baik. Minimal dengan menyusuri sejarah bangsa melalui candi dan museum membuat saya merasakan efek “dari tidak tahu menjadi tahu”. Ya, seperti penelusuran saya kali ini ke Candi Gebang yang terletak di Desa Gebang, Kecamatan Wedomartani, Kab. Sleman. Sebuah candi mini yang sangat berperan dalam tumbuhnya rasa excited saya terhadap wisata candi hingga saat ini.






 Saya berani menjamin bahwa tidak semua orang tahu bagaimana rupa dari Candi Gebang ini atau bahkan untuk mendengar namanya pun belum pernah. Kemungkinan yang lain, bagi warga Sleman atau Jogja hanya mengenalinya sebagai nama ikon sebuah area perumahan yang terletak di sebelah utara jalan ringroad utara. Ya, memang, penamaan area perumahan tersebut karena lokasinya yang berdekatan dengan keberadaan candi ini. Candi Gebang memang terkesan mini jika dibandingkan area taman disekitarnya. Saya pun untuk menemukan lokasinya harus benar-benar awas dalam melihat papan petunjuk dan mengikuti jalan yang benar. Bisa dibilang candi ini memiliki lokasi yang lumayan terpencil, dengan papan petunjuknya yang juga terbatas. Susah-susah gampanglah! Jika Anda ingin menemukan lokasinya, Anda cukup menyusuri jalan ringroad utara sampai ke arah pasar Condongcatur. Nah, tak jauh dari area tersebut, saya pun dapat melihat dengan jelas papan bertuliskan “Perumahan Candi Indah” yang dibawahnya terdapat papan bertuliskan “Candi Gebang ± 2 Km” dan beloklah saya ke utara mengikuti papan tersebut. Saya pun cukup berjalan lurus mengikuti jalan utama sampai menemukan papan petunjuk berikutnya. Ternyata papan petunjuk berikutnya pun tak semata-mata secara langsung mengarahkan wisatawan ke lokasi candi ini. Ya, saya perlu bertanya pada penduduk setempat dan menyusuri jalan tanah yang masih sangat orisinil dengan bebatuannya, hingga akhirnya sampai pada jalan ber-paving yang menandakan lokasi candi ini sudah di depan mata.


Panorama Candi Gebang yang menarik (this photo courtesy by GudegNet)


Candi Gebang dahulu dan sekarang jelas berbeda jauh. Itulah kesan yang saya dapatkan ketika saya berkunjung minggu lalu, tepatnya 20 tahun kemudian dari kali terakhir saya mengunjunginya di tahun 1992. Jika saya mengatakan candi ini berperan penting dalam menumbuhkan rasa excited saya akan wisata candi, tentunya saya memiliki kenangan tersendiri terhadap candi ini. Ya, Candi Gebang adalah candi pertama yang saya kunjungi dalam hidup saya. Bayangkan, dalam usia 2 tahun, saya sudah diajak oleh kedua orangtua saya untuk sekedar dolan ke sana. Bahkan memoar-memoar masa itu pun kembali terngiang ketika saya menemukan beberapa foto jadul saat saya digendong ibu saya yang berpose didepan candi ini. Ya, kesemuanya masih tersimpan apik dalam album foto koleksi ibu saya. Jelaslah bahwa saat itu saya tidak paham sama sekali akan apa itu candi dan buat apa dolan ke sana. Namun lain halnya ketika orangtua saya membeli rumah perdana mereka di area perumahan Candi Gebang. Dari saat itulah saya selalu senang bermain ke candi ini. Meskipun usia saya masih 4 tahun saat itu, namun saya ingat betul ketika saya sering diboncengkan naik sepeda oleh ibu untuk sekedar main atau jalan-jalan sore di Candi Gebang ini. Ya, contoh yang sederhana, sehingga tidak berlebihan bukan? jika saya berpendapat bahwa peran orangtua sangatlah penting dalam menumbuhkan sifat anak untuk menghargai sejarah bangsanya sendiri.

Saya bersama ibu dan kakak di Candi Gebang, 22 tahun yang lalu


Oke, saatnya kembali ke observasi saya di masa ini!. Candi Gebang saat ini jelaslah mengalami pembangunan fasilitas yang jauh lebih baik. Adanya taman yang dibangun di sekitar candi, jalan setapak yang terbuat dari paving-block, juga terdapatnya sebuah pos penjagaan yang dijaga oleh seorang satpam dan petugas retribusi membuat candi ini jauh lebih hidup ketimbang 20 tahun yang lalu. Saat itu Candi Gebang hanya dikelilingi oleh pagar tanpa taman dan pos penjagaan. Bahkan kata ibu saya, “Jaman dulu itu Candi Gebang ga ada yang jaga, jadi kalau mau masuk, ya, asal masuk aja, ga pake bayar-bayar tiket”. Kurang lebih begitulah komentar mama yang mengenang hobi saya karena seringnya saya bermain ke candi ini. Hehe.. Namun observasi positif saya pun teralihkan pada sebuah arca tanpa kepala. Ya, berdasarkan penjelasan singkat yang saya baca dari papan informasi di area candi ini, arca tersebut adalah arca Nadhiswara yang biasanya selalu ditemukan berdampingan dengan arca Mahakala sebagai arca penjaga empat arah mata angin. Untuk arca Mahakalanya sendiri memang belum pernah ditemukan sedari awal dilakukannya rekonstruksi candi ini pada tahun 1937. Lain halnya dengan bagian kepala arca Nandhiswara yang hilang. Di papan tersebut disebutkan bahwa hilangnya kepala arca Nandhiswara ternyata akibat dicuri dan belum berhasil ditemukan hingga saat ini. Rasa penasaran saya pun kembali muncul. Akhirnya saya pun berusaha menelusuri keutuhan candi Hindu ini melalui foto-foto jadul dalam album koleksi mama. Dan ternyata…ada! Saya berhasil menemukan sebuah foto jadul dengan latar Candi Gebang yang arca Nandhiswara-nya masih utuh alias berkepala.


Arca Nandhiswara yang telah kehilangan kepalanya

Lihat di sudut kanan atas, saat itu arca Nandhiswara masih berkepala

Sayang betul! Ya, demi kepentingan segelintir orang yang tidak menganggap arca tersebut adalah warisan yang harus dijaga, kepala arca pun dapat menghasilkan pundi-pundi uang yang akan memenuhi kantong mereka. Selintas saya kembali mengingat kasus sebuah museum purbakala dan peninggalan sejarah di salah satu kota yang sebagian besar koleksinya sudah dipalsukan. Sangat payah!, bahkan pihak pengelola museum yang jelas-jelas memiliki fungsi dan peranan besar dalam pelestarian benda-benda itu pun ternyata bermental tempe. Fiuhh.., saya cukupkan kritikan saya mengenai fenomena yang ga’ becus ini. Apapun itu, saya tetap menganggap kunjungan ke Candi Gebang kali ini semacam nostalgia, ya, ketika balita saya bermain ke candi ini, saat ini pun saya bermain lagi ke candi ini, dan kelak semoga saya diberi kesempatan untuk membawa anak-anak saya untuk sekedar dolan lagi ke Candi Gebang ini. Hehe, Proud to be Indonesian and live in Indonesia! Kenali Negerimu, Cintai Negerimu! ;) Oh ya, untuk tiket masuknya pun cukup murah yaitu Rp. 2.000,- untuk dewasa dan Rp. 1.000,- untuk anak-anak.

Candi Gebang dari kejauhan =)



Salah satu sudut candi Gebang



Ini dia, bagian pintu Candi Gebang yang tidak memiliki akses tangga untuk menuju ke dalamnya.



Salah satu sudut Candi Gebang



Arca Ganesha terletak pada sisi barat candi ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar