|
Saya yang nyengir kepanasan di depan Candi Gebang
|
Bagi
saya sejarah memang tidak ada habisnya untuk digali. Jika anak muda seumuran
saya tidak menyukai kunjungan ke museum ataupun candi dan cenderung lebih
menyenangi mall, sebaliknya dengan
saya. Ya, tidak munafik, kadang saya pun mencintai mall sebagai salah satu tempat alternatif untuk hang out, tapi berbeda ceritanya ketika
berkunjung ke mall tanpa tujuan.
Akhir-akhir ini, bisa dibilang saya akan ke mall hanya jika mencari suatu barang yang memang sedang saya butuhkan, entah
berupa baju, celana, buku atau pun sekedar mencari tempat makan yang cozy. Kalau pun menemani seorang kawan,
pasti saya akan bertanya terlebih dahulu apa tujuannya mengajak saya ke mall. Jadi perlu dicatat: bukan untuk ke
mall tanpa tujuan!. Di sisi lain,
perjalanan menyusuri sejarah jelas lebih menarik perhatian saya ketimbang hang out ke mall tanpa tujuan. Apalagi sejarah bangsa sendiri yang sudah
seharusnya saya kenali dengan baik. Minimal dengan menyusuri sejarah bangsa
melalui candi dan museum membuat saya merasakan efek “dari tidak tahu menjadi tahu”. Ya, seperti penelusuran saya kali
ini ke Candi Gebang yang terletak di Desa Gebang, Kecamatan Wedomartani, Kab.
Sleman. Sebuah candi mini yang sangat berperan dalam tumbuhnya rasa excited saya terhadap wisata candi
hingga saat ini.
|
|
Saya berani menjamin
bahwa tidak semua orang tahu bagaimana rupa dari Candi Gebang ini atau bahkan
untuk mendengar namanya pun belum pernah. Kemungkinan yang lain, bagi warga
Sleman atau Jogja hanya mengenalinya sebagai nama ikon sebuah area perumahan
yang terletak di sebelah utara jalan ringroad utara. Ya, memang, penamaan area
perumahan tersebut karena lokasinya yang berdekatan dengan keberadaan candi
ini. Candi Gebang memang terkesan mini jika dibandingkan area taman
disekitarnya. Saya pun untuk menemukan lokasinya harus benar-benar awas dalam
melihat papan petunjuk dan mengikuti jalan yang benar. Bisa dibilang candi ini
memiliki lokasi yang lumayan terpencil, dengan papan petunjuknya yang juga
terbatas. Susah-susah gampanglah! Jika Anda ingin menemukan lokasinya, Anda
cukup menyusuri jalan ringroad utara sampai ke arah pasar Condongcatur. Nah,
tak jauh dari area tersebut, saya pun dapat melihat dengan jelas papan bertuliskan
“Perumahan Candi Indah” yang dibawahnya terdapat papan bertuliskan “Candi Gebang ± 2 Km” dan beloklah saya
ke utara mengikuti papan tersebut. Saya pun cukup berjalan lurus mengikuti
jalan utama sampai menemukan papan petunjuk berikutnya. Ternyata papan petunjuk
berikutnya pun tak semata-mata secara langsung mengarahkan wisatawan ke lokasi
candi ini. Ya, saya perlu bertanya pada penduduk setempat dan menyusuri jalan
tanah yang masih sangat orisinil dengan bebatuannya, hingga akhirnya sampai
pada jalan ber-paving yang menandakan
lokasi candi ini sudah di depan mata.
|
Panorama Candi Gebang yang menarik (this photo courtesy by GudegNet) |
Candi Gebang dahulu dan sekarang jelas berbeda jauh. Itulah
kesan yang saya dapatkan ketika saya berkunjung minggu lalu, tepatnya 20 tahun
kemudian dari kali terakhir saya mengunjunginya di tahun 1992. Jika saya
mengatakan candi ini berperan penting dalam menumbuhkan rasa excited saya akan wisata candi, tentunya
saya memiliki kenangan tersendiri terhadap candi ini. Ya, Candi Gebang adalah
candi pertama yang saya kunjungi dalam hidup saya. Bayangkan, dalam usia 2
tahun, saya sudah diajak oleh kedua orangtua saya untuk sekedar dolan ke sana. Bahkan memoar-memoar masa itu pun
kembali terngiang ketika saya menemukan beberapa foto jadul saat saya digendong ibu
saya yang berpose didepan candi ini. Ya, kesemuanya masih tersimpan apik dalam
album foto koleksi ibu saya. Jelaslah bahwa saat itu saya tidak paham sama
sekali akan apa itu candi dan buat apa dolan
ke sana. Namun
lain halnya ketika orangtua saya membeli rumah perdana mereka di area perumahan
Candi Gebang. Dari saat itulah saya selalu senang bermain ke candi ini.
Meskipun usia saya masih 4 tahun saat itu, namun saya ingat betul ketika saya
sering diboncengkan naik sepeda oleh
ibu untuk sekedar main atau jalan-jalan sore di Candi Gebang ini. Ya, contoh
yang sederhana, sehingga tidak berlebihan bukan? jika saya berpendapat bahwa
peran orangtua sangatlah penting dalam menumbuhkan sifat anak untuk menghargai
sejarah bangsanya sendiri.
|
Saya bersama ibu dan kakak di Candi Gebang, 22 tahun yang lalu
|
Oke, saatnya kembali ke observasi saya di masa ini!. Candi
Gebang saat ini jelaslah mengalami pembangunan fasilitas yang jauh lebih baik.
Adanya taman yang dibangun di sekitar candi, jalan setapak yang terbuat dari paving-block, juga terdapatnya sebuah
pos penjagaan yang dijaga oleh seorang satpam dan petugas retribusi membuat
candi ini jauh lebih hidup ketimbang 20 tahun yang lalu. Saat itu Candi Gebang
hanya dikelilingi oleh pagar tanpa taman dan pos penjagaan. Bahkan kata ibu
saya, “Jaman dulu itu Candi Gebang ga ada
yang jaga, jadi kalau mau masuk, ya, asal masuk aja, ga pake bayar-bayar
tiket”. Kurang lebih begitulah komentar mama yang mengenang hobi saya
karena seringnya saya bermain ke candi ini. Hehe.. Namun observasi positif saya
pun teralihkan pada sebuah arca tanpa kepala. Ya, berdasarkan penjelasan
singkat yang saya baca dari papan informasi di area candi ini, arca tersebut
adalah arca Nadhiswara yang biasanya selalu ditemukan berdampingan dengan arca
Mahakala sebagai arca penjaga empat arah mata angin. Untuk arca Mahakalanya
sendiri memang belum pernah ditemukan sedari awal dilakukannya rekonstruksi
candi ini pada tahun 1937. Lain halnya dengan bagian kepala arca Nandhiswara
yang hilang. Di papan tersebut disebutkan bahwa hilangnya kepala arca
Nandhiswara ternyata akibat dicuri dan belum berhasil ditemukan hingga saat
ini. Rasa penasaran saya pun kembali muncul. Akhirnya saya pun berusaha
menelusuri keutuhan candi Hindu ini melalui foto-foto jadul dalam album koleksi mama. Dan ternyata…ada! Saya berhasil
menemukan sebuah foto jadul dengan latar Candi Gebang yang arca Nandhiswara-nya
masih utuh alias berkepala.
|
Arca Nandhiswara yang telah kehilangan kepalanya |
|
Lihat di sudut kanan atas, saat itu arca Nandhiswara masih berkepala |
Sayang betul! Ya, demi kepentingan segelintir orang yang
tidak menganggap arca tersebut adalah warisan yang harus dijaga, kepala arca
pun dapat menghasilkan pundi-pundi uang yang akan memenuhi kantong mereka.
Selintas saya kembali mengingat kasus sebuah museum purbakala dan peninggalan
sejarah di salah satu kota
yang sebagian besar koleksinya sudah dipalsukan. Sangat payah!, bahkan pihak
pengelola museum yang jelas-jelas memiliki fungsi dan peranan besar dalam
pelestarian benda-benda itu pun ternyata bermental tempe. Fiuhh.., saya cukupkan kritikan saya
mengenai fenomena yang ga’ becus ini.
Apapun itu, saya tetap menganggap kunjungan ke Candi Gebang kali ini semacam
nostalgia, ya, ketika balita saya bermain ke candi ini, saat ini pun saya
bermain lagi ke candi ini, dan kelak semoga saya diberi kesempatan untuk
membawa anak-anak saya untuk sekedar dolan
lagi ke Candi Gebang ini. Hehe, Proud to be Indonesian and live in Indonesia!
Kenali
Negerimu, Cintai Negerimu! ;) Oh ya, untuk tiket masuknya pun cukup
murah yaitu Rp. 2.000,- untuk dewasa dan Rp. 1.000,- untuk anak-anak.
|
Candi Gebang dari kejauhan =)
|
|
Salah satu sudut candi Gebang
|
|
Ini dia, bagian pintu Candi Gebang yang tidak memiliki akses tangga untuk menuju ke dalamnya.
|
|
Salah satu sudut Candi Gebang
|
|
Arca Ganesha terletak pada sisi barat candi ini |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar