Jumat, 27 April 2012

The “Keraton Boko”, Always Worth Seeing!


Saya di depan gerbang kedua :)
       Siapa yang tidak pernah mendengar nama Kraton Ratu Boko? Saya yakin sebagian wisatawan domestik maupun asing pernah mendengarnya. Apalagi jika yang menjadi kota tujuan wisata adalah Jogjakarta dan sekitarnya. Keindahan istana masa lampau dari abad ke-8 Masehi ini tentu akan menjadi alternatif tujuan wisata, terutama bagi penggila wisata peninggalan sejarah seperti saya. Ya, saya memang memasukkan Keraton Boko dalam list tempat wisata yang selalu worth to visit. Sebenarnya kali ini bukan merupakan kunjungan pertama saya ke keraton jaman kejayaan Hindu-Budha ini. Ini adalah keempat kalinya, namun baru kali ini saya dapat menyampaikannya dalam bentuk postingan blog. Mengapa? Karena dalam tiga kunjungan sebelumnya saya hanya mendapatkan status “pernah mengunjunginya” tanpa ada makna “menikmatinya”.
"The World is a book, and those who do not travel read only a page".  (St. Augustine)

 Ya, saya pernah mengunjunginya dalam serangkaian event pariwisata ketika masih aktif dalam Ikatan Dimas Diajeng Sleman, yang tentunya saya diposisikan sebagai panitia dalam event-event tersebut. Lagian, bagi saya, acara kedinasan itu bikin ngga lepas! Belum lagi aturan prosedural yang intinya mengutamakan kesuksesan event. Saya sebagai panitia jelas menyadari posisi saya dengan penuh, sehingga tidak mungkin untuk saya melakukan sight seeing di tempat ini, paling mentok cuma sampai di gerbang utama kedua! Hahaha..Inilah yang mendorong saya untuk mengunjungi Keraton Boko lagi, tapi kali ini harus memiliki makna “menikmati” tentunya. Oh ya, dalam kunjungan kali ini saya tidak ditemani oleh seorang kawan pun. Maklum, seperti yang saya bilang, tidak semua anak muda menyenangi wisata candi seperti ini. Bagi saya cukup bermodalkan niat, uang yang cukup, kamera dan sunglass sudah dapat membuat saya asyik sendiri di suatu lokasi wisata meskipun harus berangkat seorang diri.

Gerbang pertama yang terdiri dari 3 buah pintu :)


“Akhirnya saya kembali ke sini lagi”, itulah yang ada dalam benak saya ketika sampai di pelataran parkir Kraton Boko pada hari Minggu yang lalu. Ya, dengan mengendarai sepeda motor, saya telah sampai di lokasi setelah memilih jalur memutar yang cukup menanjak dengan melewati jalan pedesaan. Seperti dugaan saya, tiket masuknya pun bakalan lebih mahal daripada tiket masuk ke candi-candi yang dikelola secara total oleh Disbudpar Sleman. Tiket yang cenderung mahal ini dikarenakan Kraton Boko dikelola bersama dengan pihak swasta seperti halnya Candi Prambanan dan juga Candi Borobudur. Lebih mahal boleh saja, dan bagi saya pengelolaan bersama dengan pihak swasta ini memang menjadikan ketiga candi tersebut memiliki fasilitas yang komplit serta terkesan lebih hidup tentunya, karena promosi wisatanya pun lebih maksimal. Ya, Rp. 25.000,-/orang ditambah dengan karcis parkir Rp.2.000,- untuk sepeda motor. Namun, suatu opini muncul di dalam benak saya, “Weleh harga tiket sih boleh mahal, tapi kok kertas tiketnya jelek gini ya?”. Haha..saya langsung membandingkannya dengan tiket-tiket masuk sejumlah wisata candi di Karanganyar seperti Candi Sukuh dan Cetho yang tiketnya dicetak full-colour di atas kertas glossy. Padahal untuk mengunjungi Sukuh maupun Cetho, pengunjung hanya ditarik Rp. 3.000,-! Lah, yang ini, udah dicetak di atas kertas tipis biasa dengan satu warna saja, panorama Boko yang tergambar pun sama sekali tidak jelas dan hanya tulisan Rp. 25.000,- sebagai satu-satunya tulisan yang jelas dan berukuran lumayan besar. Haha..semoga jadi masukan bagi pihak pengelola!

Saya di depan gerbang pertama

Oke, akhirnya berjalanlah saya seorang diri menyusuri tangga demi tangga sampai pada gerbang utama yang pertama. Bermodalkan kamera, saya memotret beberapa sudutnya dan saya pun berpikir “tidak mungkin saya berfoto dengan latar gerbang utama ini, ya, tidak ada benda yang dapat dijadikan alas untuk auto-self-timer”. Haha..eh, tiba-tiba ada seorang mas-mas yang saya sudah prediksikan sebagai tukang foto keliling menawari saya untuk difotokan dengan background gerbang utama ini. Haha, ternyata si mas tukang foto ini melihat saya yang seorang diri dan merasa sangat disayangkan jika saya tidak berfoto dengan latar gerbang utama. Bahkan, saya sampai difotokan dua kali termasuk dengan latar gerbang utama yang kedua. Ya, keramah-tamahan orang Indonesia lah yang kadang membuat saya berpikir untuk tidak takut berwisata seorang diri. Berdasarkan informasi yang saya baca, Keraton Boko memang terletak cukup tinggi yaitu 196 meter dpl, jadi wajar saja jika tadi saya melalui jalan yang cukup menanjak dengan sepeda motor.
Keraton Boko sendiri terdiri dari beberapa bagian seperti gerbang utama pertama, gerbang utama kedua, candi pembakaran, kompleks keputren, pendopo dan juga goa yang terbagi atas Goa Lanang dan Goa Wadon. Dari gambaran tersebut jelaslah komplek Keraton Boko memiliki lokasi yang cukup luas dan sejauh ini saya hanya sampai pada gerbang utama kedua, yang menandakan saya harus maksimal dalam eksplorasi kali ini. Ya, saya pun berjalan sendiri, melanjutkan eksplorasi dengan cueknya di tengah panas matahari yang bersinar cerah hari itu. Oh ya, perbedaan kedua gerbang yaitu gerbang utama pertama memiliki tiga pintu, sementara gerbang utama kedua memiliki lima pintu dan yang jelas, saya berhasil difotokan di kedua gerbang tersebut. Hehe.. Saya juga menyempatkan melihat candi pembakaran yang terletak tidak jauh dari gerbang utama kedua. Candi pembakaran ini tampak sebagai bangunan berbentuk bujur sangkar yang besar dan terbagi menjadi dua teras. Konon katanya candi ini berfungsi untuk pembakaran jenazah.
Paseban (pendopo) yang dikelilingi pagar tembok keliling

Saya pun bergerak lagi ke arah yang ditunjukan oleh papan-papan bertuliskan “pendopo” dan “komplek keputren”. Begitu sampai.bangunan pendopo tampak sebagai bangunan yang dikelilingi oleh pagar batu sehingga berbentuk bujur sangkar dengan tiga buah gapura sebagai pintu masuk. Oh ya di komplek pendopo ini, saya juga menemukan beberapa candi miniatur yang belum pernah saya lihat sebelumnya di lokasi candi lain. Ya, benar-benar mini, seolah-olah hanya mampu untuk meletakkan sesaji.  Saya pun bergerak kembali ke arah tenggara untuk menemukan lokasi komplek keputren yang saya pernah baca sebelumnya sebagai tempat mandinya para puteri raja. Ternyata benar! Komplek keputren terletak pada lokasi yang lebih rendah dengan dua buah batur, kolam-kolam berbentuk persegi, pagar dan gapura. Haha, saya pun berpikir “betapa senangnya bisa berendam dalam kolam-kolam yang berada di atas bukit dengan pemandangan alam lepas, asal  tidak dilakukan di siang hari tentunya hahaha..”. Saya pun menjepret beberapa kali kompleks keputren ini tanpa bisa berfoto dengannya. Oke lets move on! Berikutnya saya mengunjungi kompleks goa yang terdiri atas Goa Lanang dan Goa Wadon. Kedua goa ini terletak berdekatan yaitu Goa Wadon letaknya di bawah, sementara Goa Lanang berada di tempat yang lebih tinggi dengan sebelumnya menaiki sejumlah anak tangga batu yang masih sangat orisinil, ya, anak tangga peninggalan abad ke-8.

Bagian dalam paseban


Candi kecil yang terletak di area Paseban =)

Keraton Boko yang sebelumnya bernama Abhayagiri Vihara yang berarti sebagai bukit yang penuh kedamaian, sebelumnya juga berfungsi sebagai tempat menyepi dan memfokuskan diri pada kehidupan spiritual yang lebih dalam. Berlatar agama Budha, Keraton Boko diduga didirikan oleh Rakai Panangkaran yang juga mendirikan Candi Borobudur, Candi Sewu dan Candi Kalasan. Meskipun demikian, adanya lingga, yoni, arca Ganesha dan temuan berupa lempengan emas yang bertuliskan makna pemujaan terhadap Dewa Syiwa menunjukkan hubungan yang harmonis antara umat Hindu dan Budha di masa itu. Keunikan lainnya adalah Keraton Boko juga menyimpan unsur profan dalam arsitekturnya, yang berarti tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah melainkan juga sebagai tempat tinggal. Konon selain batu-batu yang menyusun kemegahan keraton ini, juga terdapat unsur-unsur kayu pada bagian atap dan tiangnya yang kini sudah tidak dapat ditemukan lagi. Bagi saya, Keraton Boko memang megah, semegah suasana senja yang dapat dinikmati keindahannya, ya, secara total di tempat ini! Beruntung saya pernah melihat senja saat kunjungan kedua saya, sehingga saya pun tidak perlu menunggu sampai senja datang kali ini. Saya pun semakin mencintai Indonesia, jika dalam buku The Lonely Planet atau The Rough Guide to Indonesia para penulisnya berlomba-lomba menceritakan Indonesia secara detail, mengapa saya yang tinggal di negeri yang kaya ini tidak mencari tahu sendiri. Ya, slogan “Kenali Negerimu, Cintai Negerimu” memang tepat, ya, tak kenal maka tak sayang dan tak sayang maka tak cinta. Hehe..

Komplek Keputren, kolam para puteri raja nan semilir haha..

Ini dia Goa Wadon :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar