Saya di depan gerbang kedua :) |
Siapa yang tidak pernah mendengar
nama Kraton Ratu Boko? Saya yakin sebagian wisatawan domestik maupun asing
pernah mendengarnya. Apalagi jika yang menjadi kota tujuan wisata adalah
Jogjakarta dan sekitarnya. Keindahan istana masa lampau dari abad ke-8 Masehi
ini tentu akan menjadi alternatif tujuan wisata, terutama bagi penggila wisata
peninggalan sejarah seperti saya. Ya, saya memang memasukkan Keraton Boko dalam
list tempat wisata yang selalu worth to visit. Sebenarnya kali ini
bukan merupakan kunjungan pertama saya ke keraton jaman kejayaan Hindu-Budha
ini. Ini adalah keempat kalinya, namun baru kali ini saya dapat menyampaikannya
dalam bentuk postingan blog. Mengapa? Karena dalam tiga kunjungan sebelumnya
saya hanya mendapatkan status “pernah mengunjunginya” tanpa ada makna
“menikmatinya”.
Ya, saya pernah mengunjunginya dalam
serangkaian event pariwisata ketika
masih aktif dalam Ikatan Dimas Diajeng Sleman, yang tentunya saya diposisikan
sebagai panitia dalam event-event tersebut.
Lagian, bagi saya, acara kedinasan itu bikin ngga lepas! Belum lagi aturan prosedural yang intinya mengutamakan kesuksesan
event. Saya sebagai panitia jelas
menyadari posisi saya dengan penuh, sehingga tidak mungkin untuk saya melakukan
sight seeing di tempat ini, paling mentok
cuma sampai di gerbang utama kedua! Hahaha..Inilah yang mendorong saya untuk
mengunjungi Keraton Boko lagi, tapi kali ini harus memiliki makna “menikmati”
tentunya. Oh ya, dalam kunjungan kali ini saya tidak ditemani oleh seorang
kawan pun. Maklum, seperti yang saya bilang, tidak semua anak muda menyenangi
wisata candi seperti ini. Bagi saya cukup bermodalkan niat, uang yang cukup,
kamera dan sunglass sudah dapat
membuat saya asyik sendiri di suatu lokasi wisata meskipun harus berangkat
seorang diri.
Gerbang pertama yang terdiri dari 3 buah pintu :) |
“Akhirnya
saya kembali ke sini lagi”, itulah yang ada dalam benak saya ketika sampai di
pelataran parkir Kraton Boko pada hari Minggu yang lalu. Ya, dengan mengendarai
sepeda motor, saya telah sampai di lokasi setelah memilih jalur memutar yang
cukup menanjak dengan melewati jalan pedesaan. Seperti dugaan saya, tiket
masuknya pun bakalan lebih mahal daripada tiket masuk ke candi-candi yang
dikelola secara total oleh Disbudpar Sleman. Tiket yang cenderung mahal ini
dikarenakan Kraton Boko dikelola bersama dengan pihak swasta seperti halnya
Candi Prambanan dan juga Candi Borobudur. Lebih mahal boleh saja, dan bagi saya
pengelolaan bersama dengan pihak swasta ini memang menjadikan ketiga candi
tersebut memiliki fasilitas yang komplit serta terkesan lebih hidup tentunya,
karena promosi wisatanya pun lebih maksimal. Ya, Rp. 25.000,-/orang ditambah
dengan karcis parkir Rp.2.000,- untuk sepeda motor. Namun, suatu opini muncul
di dalam benak saya, “Weleh harga tiket
sih boleh mahal, tapi kok kertas tiketnya jelek gini ya?”. Haha..saya
langsung membandingkannya dengan tiket-tiket masuk sejumlah wisata candi di
Karanganyar seperti Candi Sukuh dan Cetho yang tiketnya dicetak full-colour di atas kertas glossy. Padahal untuk mengunjungi Sukuh
maupun Cetho, pengunjung hanya ditarik Rp. 3.000,-! Lah, yang ini, udah dicetak
di atas kertas tipis biasa dengan satu warna saja, panorama Boko yang tergambar
pun sama sekali tidak jelas dan hanya tulisan Rp. 25.000,- sebagai satu-satunya
tulisan yang jelas dan berukuran lumayan besar. Haha..semoga jadi masukan bagi
pihak pengelola!
Saya di depan gerbang pertama |
Oke, akhirnya
berjalanlah saya seorang diri menyusuri tangga demi tangga sampai pada gerbang
utama yang pertama. Bermodalkan kamera, saya memotret beberapa sudutnya dan
saya pun berpikir “tidak mungkin saya
berfoto dengan latar gerbang utama ini, ya, tidak ada benda yang dapat
dijadikan alas untuk auto-self-timer”. Haha..eh, tiba-tiba ada seorang
mas-mas yang saya sudah prediksikan sebagai tukang foto keliling menawari saya
untuk difotokan dengan background
gerbang utama ini. Haha, ternyata si mas tukang foto ini melihat saya yang
seorang diri dan merasa sangat disayangkan jika saya tidak berfoto dengan latar
gerbang utama. Bahkan, saya sampai difotokan dua kali termasuk dengan latar
gerbang utama yang kedua. Ya, keramah-tamahan orang Indonesia lah yang kadang
membuat saya berpikir untuk tidak takut berwisata seorang diri. Berdasarkan
informasi yang saya baca, Keraton Boko memang terletak cukup tinggi yaitu 196
meter dpl, jadi wajar saja jika tadi saya melalui jalan yang cukup menanjak
dengan sepeda motor.
Keraton Boko
sendiri terdiri dari beberapa bagian seperti gerbang utama pertama, gerbang
utama kedua, candi pembakaran, kompleks keputren, pendopo dan juga goa yang
terbagi atas Goa Lanang dan Goa Wadon. Dari gambaran tersebut jelaslah komplek
Keraton Boko memiliki lokasi yang cukup luas dan sejauh ini saya hanya sampai
pada gerbang utama kedua, yang menandakan saya harus maksimal dalam eksplorasi
kali ini. Ya, saya pun berjalan sendiri, melanjutkan eksplorasi dengan cueknya
di tengah panas matahari yang bersinar cerah hari itu. Oh ya, perbedaan kedua
gerbang yaitu gerbang utama pertama memiliki tiga pintu, sementara gerbang
utama kedua memiliki lima pintu dan yang jelas, saya berhasil difotokan di
kedua gerbang tersebut. Hehe.. Saya juga menyempatkan melihat candi pembakaran
yang terletak tidak jauh dari gerbang utama kedua. Candi pembakaran ini tampak
sebagai bangunan berbentuk bujur sangkar yang besar dan terbagi menjadi dua
teras. Konon katanya candi ini berfungsi untuk pembakaran jenazah.
Saya pun
bergerak lagi ke arah yang ditunjukan oleh papan-papan bertuliskan “pendopo”
dan “komplek keputren”. Begitu sampai.bangunan pendopo tampak sebagai bangunan
yang dikelilingi oleh pagar batu sehingga berbentuk bujur sangkar dengan tiga
buah gapura sebagai pintu masuk. Oh ya di komplek pendopo ini, saya juga
menemukan beberapa candi miniatur yang belum pernah saya lihat sebelumnya di
lokasi candi lain. Ya, benar-benar mini, seolah-olah hanya mampu untuk
meletakkan sesaji. Saya pun bergerak
kembali ke arah tenggara untuk menemukan lokasi komplek keputren yang saya pernah
baca sebelumnya sebagai tempat mandinya para puteri raja. Ternyata benar!
Komplek keputren terletak pada lokasi yang lebih rendah dengan dua buah batur,
kolam-kolam berbentuk persegi, pagar dan gapura. Haha, saya pun berpikir “betapa senangnya bisa berendam dalam
kolam-kolam yang berada di atas bukit dengan pemandangan alam lepas, asal tidak dilakukan di siang hari tentunya hahaha..”.
Saya pun menjepret beberapa kali
kompleks keputren ini tanpa bisa berfoto dengannya. Oke lets move on! Berikutnya saya mengunjungi kompleks goa yang terdiri
atas Goa Lanang dan Goa Wadon. Kedua goa ini terletak berdekatan yaitu Goa
Wadon letaknya di bawah, sementara Goa Lanang berada di tempat yang lebih
tinggi dengan sebelumnya menaiki sejumlah anak tangga batu yang masih sangat
orisinil, ya, anak tangga peninggalan abad ke-8.
Bagian dalam paseban
|
Keraton Boko yang
sebelumnya bernama Abhayagiri
Vihara yang
berarti sebagai bukit yang penuh kedamaian, sebelumnya juga berfungsi sebagai
tempat menyepi dan memfokuskan diri pada kehidupan spiritual yang lebih dalam.
Berlatar agama Budha, Keraton Boko diduga didirikan oleh Rakai Panangkaran yang
juga mendirikan Candi Borobudur, Candi Sewu dan Candi Kalasan. Meskipun
demikian, adanya lingga, yoni, arca Ganesha dan temuan berupa lempengan emas
yang bertuliskan makna pemujaan terhadap Dewa Syiwa menunjukkan hubungan yang
harmonis antara umat Hindu dan Budha di masa itu. Keunikan lainnya adalah
Keraton Boko juga menyimpan unsur profan dalam arsitekturnya, yang berarti
tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah melainkan juga sebagai tempat
tinggal. Konon selain batu-batu yang menyusun kemegahan keraton ini, juga
terdapat unsur-unsur kayu pada bagian atap dan tiangnya yang kini sudah tidak
dapat ditemukan lagi. Bagi saya, Keraton Boko memang megah, semegah suasana
senja yang dapat dinikmati keindahannya, ya, secara total di tempat ini!
Beruntung saya pernah melihat senja saat kunjungan kedua saya, sehingga saya
pun tidak perlu menunggu sampai senja datang kali ini. Saya pun semakin
mencintai Indonesia, jika dalam buku The Lonely Planet atau The Rough
Guide to Indonesia para penulisnya berlomba-lomba menceritakan Indonesia
secara detail, mengapa saya yang tinggal di negeri yang kaya ini tidak mencari
tahu sendiri. Ya, slogan “Kenali
Negerimu, Cintai Negerimu” memang tepat, ya, tak kenal maka tak sayang
dan tak sayang maka tak cinta. Hehe..
Komplek Keputren, kolam para puteri raja nan semilir haha.. |
Ini dia Goa Wadon :) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar