Kamis, 26 Januari 2012

Semarang Kabupaten: Budaya, Alam dan Heritage


Saya di tengah panorama pegunungan yang masih asri!

            Ya, ini masih kelanjutan dari rangkaian perjalanan saya selama 3 hari di Semarang. Jika selama 2 hari sebelumnya saya manfaatkan untuk menikmati Semarang Kota yang benar-benar menghadirkan suasana perkotaan dengan segala kesibukannya, kini saatnya saya menikmati sesuatu yang berbeda. Memang, hari terakhir ini sengaja saya manfaatkan untuk menikmati sejuk dan hijaunya Kabupaten Semarang. Bisa dibayangkan betapa menyenangkannya suasana di sana, apalagi saya diberi kesempatan untuk menginap semalam di rumah Ani yang terletak di bawah lokasi wisata Bandungan. Dari awal, tujuan saya di Kabupaten Semarang memang lebih ingin menikmati destinasi yang terletak di Ambarawa bagian atas, bukan di Ungaran yang notabene ibukota kabupaten. Ya, karena saya mencari suasana pedesaan dengan alam yang hijau, udara yang segar dan keinginan untuk melihat local wisdoms.

            Sore itu kami mencucikan si Honda 90 terlebih dahulu yang belepotan karena semi off road, sebelum akhirnya diistirahatkan di rumah pakdhenya Ani. Begitu serah terima si Honda 90 ini beres, kami pun bersiap menuju Ambarawa. Cuaca ternyata tidak bersahabat dan kami harus tetap berangkat di tengah hujan yang cukup deras. Ya, namanya juga mengejar transportasi publik yang jam operasionalnya serba terbatas. Angkutan terakhir menuju Ambarawa bagian atas adalah pukul 6 sore. Itu artinya, alangkah lebih baik jika kami sampai di Ambarawa sebelum pukul 6. Perjalanan dari Semarang – Ambarawa kami lalui dengan menggunakan bus kecil yang lumayan empet-empetan, bahkan saya saja berdiri di separo perjalanan. Perjalanan Semarang – Ambarawa ini memakan waktu kurang lebih satu jam lamanya. Bahkan ketika sampai di Ambarawa, saya dan Ani harus naik kolt (semacam angkot) lagi yang luarr biasaaa penuhnya! Padahal kolt ini akan membawa saya ke Ambarawa bagian atas, tempat dimana rumah Ani berada. Anda bisa bayangkan betapa sesaknya posisi duduk saya. Saya duduk di depan bersama sopir yang jika diurutkan terdiri dari pak sopir, seorang ibu dengan barang belanjaan, Ani dan Saya! Saya pun sampai menumpuk kaki saya alias duduk jegrang.Hahaha..tapi itulah seninya!
            Akhirnya sampailah saya di rumah Ani. Ya, rumah yang pernah saya kunjungi ketika duduk di bangku kelas 3 SMA ini tidak mengalami  banyak perubahan, masih terlihat asri dengan banyaknya pepohonan di sekitarnya. Saat saya turun dari kolt, dari kejauhan sudah tampak Bapak dan Ibu Sudiro Basuki (orangtua Ani) di depan pintu rumah yang menyambut kedatangan kami. “Gimana kabarnya pak dokter?” itulah yang pertama kali terucap dari bibir Pak Sudiro. Bagi saya, mereka tetap terlihat seperti lima tahun yang lalu, ya, awet muda dengan senyum yang selalu ramah. Oh ya, saya merasa seperti menginap di sebuah vila di kaki gunung. Atmosfer rumah Ani yang bukan lagi sejuk melainkan dingin membuat saya mengurungkan niat untuk mandi sore itu. Saya pun hanya mencuci muka, tangan dan kaki saya, serta menggosok gigi setelah merasakan air yang  brrr…dinginnya seperti air es!. Sore itu saya habiskan dengan mengobrol bersama Pak dan Bu Sudiro di ruang tamu mereka. Kami membahas beragam topik mulai dari masa SMA saya dan Ani dulu hingga mobil plat hitam yang diwajibkan menggunakan Pertamax per April 2012. Apalagi adanya suguhan buah manggis, bakwan jagung dan segelas teh panas membuat suasana sore itu semakin akrab. Inilah local wisdoms yang saya cari ketika saya mengunjungi suatu tempat.
            Waktu maghrib pun tiba, saya berpamitan untuk mengakhiri obrolan dan segera mengambil air wudhu untuk sholat maghrib. Sesudah sholat, saya pun langsung ditawari untuk makan malam oleh Ani. Ya, menu makan malam saat itu cukup istimewa dengan kwetiau goreng yang dimasak sendiri oleh Pak Sudiro. Hmm..saya pun segera makan karena mata yang sebenarnya sudah tidak berkompromi alias mulai mengantuk. Selesai makan, saya sempat mengobrol bersama Ani di ruang tamu, sambil menemani Ani yang sedang ber-online ria. Namun, saya pun berpamitan untuk tidur duluan karena sudah sangat mengantuk. Hehehe..uniknya, di kamar saya tersedia 4 buah selimut yang memang sangat berfungsi karena saya pun akhirnya menggunakan dua lapis selimut! Bisa anda bayangkan betapa dinginnya udara di sana. Mari tidur!, besok masih ada rute perjalanan ke Candi Gedong Songo, Curug 7 Bidadari dan Museum Kereta Api Ambarawa yang tentunya membutuhkan kondisi yang prima.
            Pagi pun tiba, saya bangun pukul 05.30 dan segera mengambil air wudhu untuk sholat subuh. Hari itu kami memang menjadwalkan berangkat pagi untuk menjelajahi indahnya alam Kab. Semarang. Bahkan, kalau bisa, pukul 07.00 pagi kami sudah harus keluar rumah karena takut terhalang hujan. Namun  kenyataannya, kami baru keluar rumah sekitar pukul 08.00 dan kembali menyetop kolt yang akan membawa kami ke lokasi Ambarawa yang lebih atas. Oh ya, sebelum melanjutkan jalan-jalan hari ini, saya mampir di rumah Widi yang juga kawan SMA saya. Widi memang anak asli sana, yang pada hari itu bersedia menjadi tour guide saya untuk mengeksplor indahnya alam Ambarawa secara lebih dekat. Saya pun akhirnya sampai di rumah Widi setelah melakukan perjalanan kurang lebih 30 menit dengan kolt yang juga melewati kawasan wisata Bandungan. Ternyata Widi telah menyiapkan 2 buah sepeda motor yang akan kami gunakan untuk jalan-jalan pada hari itu. Ya, sepertinya teman-teman saya ini mengerti saya yang memang mencintai keefektifan dari penggunaan sepeda motor untuk menjelajahi banyak tempat.  

Saya di Candi ke-3 dari 9 candi yang terdapat di Gedong Songo
            Kami pun segera berangkat. Saya berboncengan dengan Widi, sementara Ani mengendarai motor seorang diri. Tujuan pertama kami adalah Candi Gedong Songo dengan medan yang cukup menanjak. Kata Widi, bus besar disarankan untuk tidak melalui medan ini karena bisa dipastikan tidak kuat menanjak. Bahkan pernah ada kejadian bus besar yang melorot ke bawah karena tidak kuat menanjak. Hmm.. benar juga, saya yang naik sepeda motor saja harus berganti ke gigi satu dan melaju cukup pelan di beberapa tanjakan. Apapun itu, akhirnya sampailah saya di Candi Gedong Songo. Ini merupakan kali kedua saya mengunjungi candi yang berjumlah sembilan (songo) dengan letak yang berjauhan antara satu dengan yang lainnya. Bisa dibilang, jika anda ingin mengunjungi kesembilan-sembilannya berarti anda harus siap dengan rute tracking karena letak candi-candi ini yang terpisah dan semakin menanjak. Dulu, ketika saya mengunjunginya dengan keluarga, saya berhasil menuntaskan rute tracking ini sampai ke candi kesembilan dan luar biasa capeknya!. Jadi kali ini saya memilih untuk sampai ke candi ketiga saja. Itu pun sudah ngos-ngos an. Hehehe…memang fisik saya sudah tidak seperti dulu dan saya sangat menyadarinya. Oh ya, satu hal baru yang saya temukan di kompleks Candi Gedong Songo saat ini yaitu adanya cottage-cottage dari kayu yang disewakan untuk wisatawan. Cottage-cottage ini milik perhutani yang terdapat di dalam kawasan Perhutani Ecotourism, yang berada dalam kompleks candi. Bagi saya, Candi Gedong Songo selalu menarik untuk dikunjungi karena kita dapat berwisata heritage dan alam sekaligus dalam satu waktu. Cukup dengan membayar tiket masuk Rp. 6.000,-/orang pada hari libur, anda sudah bisa menikmati sisa peradaban masa lalu, juga alam pegunungan yang masih terjaga keasliannya. Saya pun menyempatkan memakan jagung rebus bikinan ibunya Widi sambil menikmati panorama alam pegunungan dari sudut candi. Nikmat bukan? Jelas!
Jagung rebus penunda rasa lapar hahaha =)

Saya, Ani dan Widi bersama jagung-jagung andalan =)

            Kami pun menyudahi jalan-jalan kami di Candi Gedong Songo. Selanjutnya, Ani mencetuskan ide untuk mengunjungi Curug 7 Bidadari yang terletak di Kecamatan Sumowono. Hah? Curug apa itu?. Jujur, saya baru pertama kali mendengarnya semalam saat mengobrol dengan Ani di ruang tamu. Dengan rute yang saya tidak bisa jelaskan di sini, lebih baik anda bertanya ke penduduk lokal mengenai arah jalan untuk menuju curug ini. Saya jamin, anda pasti akan mendapatkan informasi yang baik dan benar. Curug 7 bidadari yang terletak di Ds. Kesenen, Kec. Sumowono, Kab. Semarang ini memang tidak banyak yang tahu. Bahkan saya yang berasal dari Salatiga saja, baru kali ini mendengarnya. Ternyata kawasan ini sudah terkelola secara baik dari sisi pariwisatanya. Saya cukup membayar tiket masuk Rp. 4.000-/ orang dan sampailah saya pada kawasan wisata Curug 7 Bidadari. Di sepanjang jalan utama kawasan wisata ini, saya menemui warung-warung makan yang terbuat dari bambu dengan atap ijuk dan dinding gedhek. Deretan warung-warung ini membentuk layout yang cukup menarik menurut saya. Saya pun tidak melewatkan kesempatan untuk berfoto dengan latar warung-warung ini. Hehe.. Untuk Curug 7 Bidadarinya sendiri ternyata cukup ramai. Banyak muda-mudi menghabiskan waktunya dengan bermain air atau sekedar duduk-duduk santai di sana. Curug yang membentuk tingkat-tingkatan ini menurut saya cukup indah, apalagi ketika berkunjung di musim hujan seperti hari itu. Debit air yang banyak membuat aliran curug cukup deras dan yang jelas, lebih terlihat tingkatannya! Bagi saya, dapat mengunjungi curug ini merupakan pengalaman yang menarik, karena jika bukan karena tour guide saya yang notabene adalah orang lokal, saya pasti tidak akan sampai ke sana. Thanks to Ani dan Widi !

Saya dengan latar Curug 7 Bidadari

Derasnya air jauh lebih dahsyat aslinya ketimbang di foto ini

            Selesai dari Curug 7 Bidadari, kami menyempatkan mampir ke tempat budidaya bunga Krisan yang kami lewati ketika perjalanan pulang ke rumah Widi. Memang, namanya juga daerah pegunungan, pasti bididaya-budidaya semacam ini mudah ditemukan di sana.Kami pun hanya melihat sejenak sambil berfoto-foto dengan latar bunga Krisan beraneka warna. Meskipun kami mendapatkan penawaran dari seorang bapak untuk melihat bibit-bibit Krisan yang bisa dibeli dan dibawa pulang, tapi waktu yang terbatas membuat saya memilih untuk segera pulang. Mengapa? Karena saya masih ingin mengunjungi Museum Kereta Api Ambarawa dan ingin mencoba tur Ambarawa-Tuntang dengan menggunakan lori yang disewakan di sana. Saya takut tidak sempat mencicipi tur dengan lori ini mengingat waktu sudah menunjukkan pukul 13.00 WIB saat itu. Well, begitu sampai di rumah Widi, saya pun hanya minum sejenak meskipun Widi menawari saya dan Ani untuk makan siang terlebih dulu. Selesai berpamitan dengan ibunya Widi, saya dan Ani pun segera menyetop kolt yang akan membawa kami turun kembali ke Ambarawa bagian bawah. Thanks to Widi, sampai jumpa lagi dan semoga juga dalam acara jalan-jalan seru seperti hari itu! Hehehe.. Kolt pun melaju turun dengan cukup kencang. Lebih cepat daripada ketika berangkat. Memang, gravitasi membawa kami turun lebih cepat namun kepadatan kolt ini pun tak terelakan. Hahaha..bahkan justru lebih padat daripada ketika berangkat. Gimana engga? Banyaknya ibu-ibu dari kawasan wisata Bandungan yang membawa barang dagangan membuat kolt ini terasa bagaikan angkutan segala umat. Tiba-tiba pandangan saya tertuju pada pasar di Bandungan yang saya lihat dari jendela kolt. Tampak sejenis jajanan favorit saya yang bernama Gemblong Pecotot!. Ya, jajanan yang terbuat dari singkong parut yang digoreng ini memang begitu yummy, apalagi jika dimakan saat panas-panas, masih fresh dari penggorengan. Rasa gurih dari singkong, ditambah legitnya cairan gula yang mengejutkan ketika digigit (pecotot = mengalir tiba-tiba) membuat jajanan ini menjadi favorit saya. Tapi, apa daya, saya hanya mampu membayangkannya saja, mengingat saya tidak mungkin melompat ke luar melewati padatnya ibu-ibu yang ramai di dalam kolt.

Saya di tengah deretan warung yang menurut saya unik!

Ani bersama kebun Krisan

            Akhirnya, saya pun sampai di rumah Ani kembali untuk mengambil ransel saya. Saya tidak berbuat banyak, karena packing telah saya lakukan sejak tadi pagi seusai saya mandi. Selesai sholat dzuhur saya berpamitan dengan Pak Sudiro dan mengucapkan banyak terima kasih untuk hospitality nya yang luar biasa. Bahkan Pak Sudiro sempat berucap “ Jangan kapok untuk mampir ke sini lagi”. “Tentu tidak Pak!” jawab saya dalam hati. Selesai berpamitan, saya dan Ani kembali menyetop sebuah angkutan. Kali ini bukan kolt, tapi angkot berwarna kuning dengan bentuk seperti angkot pada umumnya. Ya, angkot ini akan membawa saya ke Ambarawa bagian bawah, tempat dimana banyak pertokoan. Saya pun sempat berganti angkot sekali untuk menuju Museum Kereta Api Ambarawa. Namun, begitu sampai di museum itu, betapa kecewanya saya ketika melihat tulisan “Museum Kereta Api Ambarawa ditutup sementara untuk wisatawan karena sedang dalam tahap renovasi”. Fiuh..isu renovasi ini memang sempat saya dengar ketika saya mengunjungi Lawang Sewu kemarin, namun saya nya saja yang berusaha berpikir positif bahwa museum ini masih dapat dikunjungi. Well, ternyata pikiran saya berkata benar, museum ini masih dapat diakses oleh wisatawan!. Ya, memang bukan lewat loket resmi yang juga ditutup, melainkan lewat jalan samping sebagai alternatifnya. Tapi jangan berpikir ya kalau jalan samping ini illegal, karena jalan samping ini semacam pintu ‘penghibur hati’ bagi para wisatawan yang sudah terlanjur sampai di sana. Bahkan petugas setempat pun mengetahuinya dan terbukti dengan ruang pamer museum yang masih dibuka untuk umum.

Saya di Museum Kereta Api Ambarawa 
Di salah satu ruang pamer museum

            Hmm..tapi yang jelas, tur lori saya jelas batal. Tur dengan rute Ambarawa – Tuntang itu memang tidak beroperasi karena rel nya pun sedang direnovasi. Bagus lah! Saya lihat PT. KAI sedang menaruh perhatian yang besar dalam dunia perkereta apian Indonesia, terbukti dengan renovasi museum ini dan juga Lawang Sewu yang dulunya merupakan kantor perkereta apian jaman Belanda. Tak apa, meskipun sedikit kecewa, bahkan saya sempat menunda jam makan siang saya hanya demi mengejar jam operasional dari tur lori ini. Saya pun mengisi waktu dengan mengunjungi beberapa ruang pamer di museum ini. Tentunya, saya juga tak lupa menyempatkan berfoto dengan latar arsitektur stasiun kuno Ambarawa yang masih terawat ini. Oh ya, saya juga menyempatkan berfoto di dalam gerbong kereta uap wisata yang katanya memiliki harga sewa Rp. 2.000.000,- untuk sekali jalan. Ya, kereta uap wisata ini merupakan satu-satunya kereta uap yang dapat berjalan menanjak, bahkan dengan rute sampai daerah Bedono (daerah atas di Kab. Semarang). Belum lagi bahan bakarnya yang khusus yaitu hanya boleh menggunakan kayu Jati. Nah, jelas kan, mengapa mahal? Biasanya kereta ini disewa oleh bule-bule yang benar-benar niat untuk bernostalgia di rute lawas Stasiun Ambarawa.
Ini dia gerbong 2 juta yang biasa dioperasikan dengan kayu jati
Bersama arsitektur klasik museum ini yang terawat baik

            Perjalanan satu hari di Kabupaten Semarang pun berakhir dengan acara makan siang di Nasi Pecel Mbok Kami. Ya, memang, perut saya yang sudah sangat lapar demi mengejar tur lori, wajib terisi sesuatu yang benar-benar lezat. Nasi pecel yang terletak di tepi jalan menuju Goa Maria Kerep, Ambarawa ini memang terkenal lezat dan selalu ramai. Ketika remaja, saya pun selalu diajak mampir ke sana oleh Ayah saya setiap berkunjung ke Ambarawa. Nasi pecel dengan mie goreng dan lauk beraneka ragam yang dapat dipilih sendiri (kata Ani, sate keong di sana adalah lauk yang paling enak dan wajib dipilih) disajikan dalam sebuah pincuk. Untuk minumnya, tersedia juga minuman trad
Nasi pecel Mbok Kami yang selalu saya kunjungi ketika ke Ambarawa
isional seperti es kolak dan dawet. Saya pun hanya merogoh kocek Rp. 8.000,- untuk sepincuk nasi pecel dengan lauk tahu bakso dan segelas es dawet. Murah bukan? Hehehe. Akhirnya perjalanan kali ini harus benar-benar berakhir. Saya berpisah dengan Ani sore itu untuk menuju Salatiga. Saya ingin beristirahat dan bercengkerama sejenak dengan keluarga saya sesudah 3 hari yang menyenangkan  ini. Bagi saya, Semarang Kabupaten dan Kota sama indahnya! Anda wajib mengunjunginya dalam satu paket karena suasana yang dihadirkan benar-benar berbeda. Indonesia still Amazing! Kenali Negerimu, Cintai Negerimu. =)


6 komentar:

  1. ini bandungan bkn ji? kata adekku bagus bgt, dan klo liat dr foto2mu emg bagus kayaknya yah..

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya best...di atasnya bandungan masih ada bbrp tempat wisata yang ga kalah bagussnya...hehehe..mana nih postingan euro trip mu? ak tunggu best

      Hapus
  2. hahahahahahaa pngen ke curug 7 bidadari lg,, lum puas,, kurang lama,, ga sempet pto diatas,, :(

    ayow jik.. ntar lanjut ke curug panglebur gongso.. wkwkwkwkwkkk,,

    ak masih ngidam pantaiii... huhuhuhuuuu....

    BalasHapus
    Balasan
    1. yang jelas bukan pantai di semarang ya nie..hahaha..wah curug apalagi tuh?

      Hapus
  3. jalan2 emang seru..wah lumayan nih blognya bwat referensi,
    buat hunting lokasi pre wed's pic.
    heheehee :p

    BalasHapus
    Balasan
    1. thanks buat komennya mbak, jalan-jalan memang ga ada matinya..hehe..menurut saya candi gedong songo bagus jg buat prewed, heritage di tengah alam =)

      Hapus