|
Saya di tengah panorama pegunungan yang masih asri! |
Ya, ini masih kelanjutan dari rangkaian perjalanan
saya selama 3 hari di Semarang. Jika selama 2 hari sebelumnya saya manfaatkan
untuk menikmati Semarang Kota yang benar-benar menghadirkan suasana perkotaan
dengan segala kesibukannya, kini saatnya saya menikmati sesuatu yang berbeda.
Memang, hari terakhir ini sengaja saya manfaatkan untuk menikmati sejuk dan
hijaunya Kabupaten Semarang. Bisa dibayangkan betapa menyenangkannya suasana di
sana, apalagi saya diberi kesempatan untuk menginap semalam di rumah Ani yang
terletak di bawah lokasi wisata Bandungan. Dari awal, tujuan saya di Kabupaten
Semarang memang lebih ingin menikmati destinasi yang terletak di Ambarawa
bagian atas, bukan di Ungaran yang notabene ibukota kabupaten. Ya, karena saya
mencari suasana pedesaan dengan alam yang hijau, udara yang segar dan keinginan
untuk melihat local wisdoms.
Sore itu kami mencucikan si Honda 90
terlebih dahulu yang belepotan karena
semi off road, sebelum akhirnya
diistirahatkan di rumah pakdhenya Ani. Begitu serah terima si Honda 90 ini beres, kami pun bersiap menuju Ambarawa.
Cuaca ternyata tidak bersahabat dan kami harus tetap berangkat di tengah hujan
yang cukup deras. Ya, namanya juga mengejar transportasi publik yang jam
operasionalnya serba terbatas. Angkutan terakhir menuju Ambarawa bagian atas
adalah pukul 6 sore. Itu artinya, alangkah lebih baik jika kami sampai di
Ambarawa sebelum pukul 6. Perjalanan dari Semarang – Ambarawa kami lalui dengan
menggunakan bus kecil yang lumayan empet-empetan,
bahkan saya saja berdiri di separo perjalanan. Perjalanan Semarang – Ambarawa
ini memakan waktu kurang lebih satu jam lamanya. Bahkan ketika sampai di Ambarawa,
saya dan Ani harus naik kolt (semacam angkot) lagi yang luarr biasaaa penuhnya! Padahal kolt ini akan membawa saya ke
Ambarawa bagian atas, tempat dimana rumah Ani berada. Anda bisa bayangkan
betapa sesaknya posisi duduk saya. Saya duduk di depan bersama sopir yang jika
diurutkan terdiri dari pak sopir, seorang ibu dengan barang belanjaan, Ani dan
Saya! Saya pun sampai menumpuk kaki saya alias duduk jegrang.Hahaha..tapi itulah seninya!
Akhirnya sampailah saya di rumah
Ani. Ya, rumah yang pernah saya kunjungi ketika duduk di bangku kelas 3 SMA ini
tidak mengalami banyak perubahan, masih
terlihat asri dengan banyaknya pepohonan di sekitarnya. Saat saya turun dari
kolt, dari kejauhan sudah tampak Bapak dan Ibu Sudiro Basuki (orangtua Ani) di
depan pintu rumah yang menyambut kedatangan kami. “Gimana kabarnya pak dokter?” itulah yang pertama kali terucap dari
bibir Pak Sudiro. Bagi saya, mereka tetap terlihat seperti lima tahun yang
lalu, ya, awet muda dengan senyum yang selalu ramah. Oh ya, saya merasa seperti
menginap di sebuah vila di kaki gunung. Atmosfer rumah Ani yang bukan lagi
sejuk melainkan dingin membuat saya mengurungkan niat untuk mandi sore itu.
Saya pun hanya mencuci muka, tangan dan kaki saya, serta menggosok gigi setelah
merasakan air yang brrr…dinginnya seperti air es!. Sore itu saya habiskan dengan mengobrol
bersama Pak dan Bu Sudiro di ruang tamu mereka. Kami membahas beragam topik
mulai dari masa SMA saya dan Ani dulu hingga mobil plat hitam yang diwajibkan
menggunakan Pertamax per April 2012. Apalagi adanya suguhan buah manggis,
bakwan jagung dan segelas teh panas membuat suasana sore itu semakin akrab.
Inilah local wisdoms yang saya cari
ketika saya mengunjungi suatu tempat.
Waktu maghrib pun tiba, saya
berpamitan untuk mengakhiri obrolan dan segera mengambil air wudhu untuk sholat
maghrib. Sesudah sholat, saya pun langsung ditawari untuk makan malam oleh Ani.
Ya, menu makan malam saat itu cukup istimewa dengan kwetiau goreng yang dimasak
sendiri oleh Pak Sudiro. Hmm..saya pun segera makan karena mata yang sebenarnya
sudah tidak berkompromi alias mulai mengantuk. Selesai makan, saya sempat
mengobrol bersama Ani di ruang tamu, sambil menemani Ani yang sedang ber-online ria. Namun, saya pun berpamitan
untuk tidur duluan karena sudah sangat mengantuk. Hehehe..uniknya, di kamar
saya tersedia 4 buah selimut yang memang sangat berfungsi karena saya pun
akhirnya menggunakan dua lapis selimut! Bisa anda bayangkan betapa dinginnya
udara di sana. Mari tidur!, besok masih ada rute perjalanan ke Candi Gedong
Songo, Curug 7 Bidadari dan Museum Kereta Api Ambarawa yang tentunya
membutuhkan kondisi yang prima.
Pagi pun tiba, saya bangun pukul
05.30 dan segera mengambil air wudhu untuk sholat subuh. Hari itu kami memang
menjadwalkan berangkat pagi untuk menjelajahi indahnya alam Kab. Semarang.
Bahkan, kalau bisa, pukul 07.00 pagi kami sudah harus keluar rumah karena takut
terhalang hujan. Namun kenyataannya,
kami baru keluar rumah sekitar pukul 08.00 dan kembali menyetop kolt yang akan membawa kami ke lokasi Ambarawa yang lebih
atas. Oh ya, sebelum melanjutkan jalan-jalan hari ini, saya mampir di rumah
Widi yang juga kawan SMA saya. Widi memang anak asli sana, yang pada hari itu
bersedia menjadi tour guide saya
untuk mengeksplor indahnya alam Ambarawa secara lebih dekat. Saya pun akhirnya
sampai di rumah Widi setelah melakukan perjalanan kurang lebih 30 menit dengan
kolt yang juga melewati kawasan wisata Bandungan. Ternyata Widi telah
menyiapkan 2 buah sepeda motor yang akan kami gunakan untuk jalan-jalan pada
hari itu. Ya, sepertinya teman-teman saya ini mengerti saya yang memang
mencintai keefektifan dari penggunaan sepeda motor untuk menjelajahi banyak
tempat.
|
Saya di Candi ke-3 dari 9 candi yang terdapat di Gedong Songo |
Kami pun segera berangkat. Saya
berboncengan dengan Widi, sementara Ani mengendarai motor seorang diri. Tujuan
pertama kami adalah Candi Gedong Songo dengan medan yang cukup menanjak. Kata
Widi, bus besar disarankan untuk tidak melalui medan ini karena bisa dipastikan
tidak kuat menanjak. Bahkan pernah ada kejadian bus besar yang melorot ke bawah karena tidak kuat
menanjak. Hmm.. benar juga, saya yang naik sepeda motor saja harus berganti ke
gigi satu dan melaju cukup pelan di beberapa tanjakan. Apapun itu, akhirnya
sampailah saya di Candi Gedong Songo. Ini merupakan kali kedua saya mengunjungi
candi yang berjumlah sembilan (songo)
dengan letak yang berjauhan antara satu dengan yang lainnya. Bisa dibilang,
jika anda ingin mengunjungi kesembilan-sembilannya berarti anda harus siap dengan
rute tracking karena letak
candi-candi ini yang terpisah dan semakin menanjak. Dulu, ketika saya
mengunjunginya dengan keluarga, saya berhasil menuntaskan rute tracking ini sampai ke candi kesembilan
dan luar biasa capeknya!. Jadi kali
ini saya memilih untuk sampai ke candi ketiga saja. Itu pun sudah ngos-ngos an. Hehehe…memang fisik saya
sudah tidak seperti dulu dan saya sangat menyadarinya. Oh ya, satu hal baru
yang saya temukan di kompleks Candi Gedong Songo saat ini yaitu adanya cottage-cottage dari kayu yang disewakan
untuk wisatawan. Cottage-cottage ini
milik perhutani yang terdapat di dalam kawasan Perhutani Ecotourism, yang
berada dalam kompleks candi. Bagi saya, Candi Gedong Songo selalu menarik untuk
dikunjungi karena kita dapat berwisata heritage
dan alam sekaligus dalam satu waktu. Cukup dengan membayar tiket masuk Rp.
6.000,-/orang pada hari libur, anda sudah bisa menikmati sisa peradaban masa
lalu, juga alam pegunungan yang masih terjaga keasliannya. Saya pun
menyempatkan memakan jagung rebus bikinan
ibunya Widi sambil menikmati panorama alam pegunungan dari sudut candi. Nikmat bukan?
Jelas!
|
Jagung rebus penunda rasa lapar hahaha =)
|
|
Saya, Ani dan Widi bersama jagung-jagung andalan =) |
Kami pun menyudahi jalan-jalan kami
di Candi Gedong Songo. Selanjutnya, Ani mencetuskan ide untuk mengunjungi Curug
7 Bidadari yang terletak di Kecamatan Sumowono. Hah? Curug apa itu?. Jujur,
saya baru pertama kali mendengarnya semalam saat mengobrol dengan Ani di ruang
tamu. Dengan rute yang saya tidak bisa jelaskan di sini, lebih baik anda
bertanya ke penduduk lokal mengenai arah jalan untuk menuju curug ini. Saya
jamin, anda pasti akan mendapatkan informasi yang baik dan benar. Curug 7 bidadari
yang terletak di Ds. Kesenen, Kec. Sumowono, Kab. Semarang ini memang tidak
banyak yang tahu. Bahkan saya yang berasal dari Salatiga saja, baru kali ini
mendengarnya. Ternyata kawasan ini sudah terkelola secara baik dari sisi
pariwisatanya. Saya cukup membayar tiket masuk Rp. 4.000-/ orang dan sampailah
saya pada kawasan wisata Curug 7 Bidadari. Di sepanjang jalan utama kawasan
wisata ini, saya menemui warung-warung makan yang terbuat dari bambu dengan
atap ijuk dan dinding gedhek. Deretan warung-warung ini
membentuk layout yang cukup menarik
menurut saya. Saya pun tidak melewatkan kesempatan untuk berfoto dengan latar
warung-warung ini. Hehe.. Untuk Curug 7 Bidadarinya sendiri ternyata cukup
ramai. Banyak muda-mudi menghabiskan waktunya dengan bermain air atau sekedar
duduk-duduk santai di sana. Curug yang membentuk tingkat-tingkatan ini menurut
saya cukup indah, apalagi ketika berkunjung di musim hujan seperti hari itu.
Debit air yang banyak membuat aliran curug cukup deras dan yang jelas, lebih
terlihat tingkatannya! Bagi saya, dapat mengunjungi curug ini merupakan
pengalaman yang menarik, karena jika bukan karena tour guide saya yang notabene adalah orang lokal, saya pasti tidak
akan sampai ke sana. Thanks to Ani dan Widi !
|
Saya dengan latar Curug 7 Bidadari |
|
Derasnya air jauh lebih dahsyat aslinya ketimbang di foto ini |
Selesai dari Curug 7 Bidadari, kami
menyempatkan mampir ke tempat budidaya bunga Krisan yang kami lewati ketika perjalanan
pulang ke rumah Widi. Memang, namanya juga daerah pegunungan, pasti
bididaya-budidaya semacam ini mudah ditemukan di sana.Kami pun hanya melihat
sejenak sambil berfoto-foto dengan latar bunga Krisan beraneka warna. Meskipun
kami mendapatkan penawaran dari seorang bapak untuk melihat bibit-bibit Krisan
yang bisa dibeli dan dibawa pulang, tapi waktu yang terbatas membuat saya
memilih untuk segera pulang. Mengapa? Karena saya masih ingin mengunjungi
Museum Kereta Api Ambarawa dan ingin mencoba tur Ambarawa-Tuntang dengan
menggunakan lori yang disewakan di sana. Saya takut tidak sempat mencicipi tur
dengan lori ini mengingat waktu sudah menunjukkan pukul 13.00 WIB saat itu. Well, begitu sampai di rumah Widi, saya
pun hanya minum sejenak meskipun Widi menawari saya dan Ani untuk makan siang
terlebih dulu. Selesai berpamitan dengan ibunya Widi, saya dan Ani pun segera menyetop kolt yang akan membawa kami
turun kembali ke Ambarawa bagian bawah. Thanks to Widi, sampai jumpa lagi
dan semoga juga dalam acara jalan-jalan seru seperti hari itu! Hehehe.. Kolt
pun melaju turun dengan cukup kencang. Lebih cepat daripada ketika berangkat.
Memang, gravitasi membawa kami turun lebih cepat namun kepadatan kolt ini pun
tak terelakan. Hahaha..bahkan justru lebih padat daripada ketika berangkat. Gimana engga? Banyaknya ibu-ibu dari
kawasan wisata Bandungan yang membawa barang dagangan membuat kolt ini terasa
bagaikan angkutan segala umat. Tiba-tiba pandangan saya tertuju pada pasar di
Bandungan yang saya lihat dari jendela kolt. Tampak sejenis jajanan favorit
saya yang bernama Gemblong Pecotot!.
Ya, jajanan yang terbuat dari singkong parut yang digoreng ini memang begitu yummy, apalagi jika dimakan saat panas-panas, masih fresh dari penggorengan. Rasa gurih dari singkong, ditambah
legitnya cairan gula yang mengejutkan ketika digigit (pecotot = mengalir
tiba-tiba) membuat jajanan ini menjadi favorit saya. Tapi, apa daya, saya hanya
mampu membayangkannya saja, mengingat saya tidak mungkin melompat ke luar
melewati padatnya ibu-ibu yang ramai di dalam kolt.
|
Saya di tengah deretan warung yang menurut saya unik! |
|
Ani bersama kebun Krisan |
Akhirnya, saya pun sampai di rumah
Ani kembali untuk mengambil ransel saya. Saya tidak berbuat banyak, karena packing telah saya lakukan sejak tadi
pagi seusai saya mandi. Selesai sholat dzuhur saya berpamitan dengan Pak Sudiro
dan mengucapkan banyak terima kasih untuk hospitality
nya yang luar biasa. Bahkan Pak Sudiro sempat berucap “ Jangan kapok untuk mampir ke sini lagi”. “Tentu tidak Pak!” jawab
saya dalam hati. Selesai berpamitan, saya dan Ani kembali menyetop sebuah angkutan. Kali ini bukan kolt, tapi angkot berwarna
kuning dengan bentuk seperti angkot pada umumnya. Ya, angkot ini akan membawa
saya ke Ambarawa bagian bawah, tempat dimana banyak pertokoan. Saya pun sempat
berganti angkot sekali untuk menuju Museum Kereta Api Ambarawa. Namun, begitu
sampai di museum itu, betapa kecewanya saya ketika melihat tulisan “Museum
Kereta Api Ambarawa ditutup sementara untuk wisatawan karena sedang dalam tahap
renovasi”. Fiuh..isu renovasi ini memang sempat saya dengar ketika saya
mengunjungi Lawang Sewu kemarin, namun saya nya saja yang berusaha berpikir
positif bahwa museum ini masih dapat dikunjungi. Well, ternyata pikiran saya berkata benar, museum ini masih dapat
diakses oleh wisatawan!. Ya, memang bukan lewat loket resmi yang juga ditutup,
melainkan lewat jalan samping sebagai alternatifnya. Tapi jangan berpikir ya
kalau jalan samping ini illegal, karena jalan samping ini semacam pintu
‘penghibur hati’ bagi para wisatawan yang sudah terlanjur sampai di sana.
Bahkan petugas setempat pun mengetahuinya dan terbukti dengan ruang pamer
museum yang masih dibuka untuk umum.
|
Saya di Museum Kereta Api Ambarawa |
|
Di salah satu ruang pamer museum |
Hmm..tapi yang jelas, tur lori saya
jelas batal. Tur dengan rute Ambarawa – Tuntang itu memang tidak beroperasi
karena rel nya pun sedang direnovasi. Bagus lah! Saya lihat PT. KAI sedang
menaruh perhatian yang besar dalam dunia perkereta apian Indonesia, terbukti
dengan renovasi museum ini dan juga Lawang Sewu yang dulunya merupakan kantor
perkereta apian jaman Belanda. Tak apa, meskipun sedikit kecewa, bahkan saya
sempat menunda jam makan siang saya hanya demi mengejar jam operasional dari
tur lori ini. Saya pun mengisi waktu dengan mengunjungi beberapa ruang pamer di
museum ini. Tentunya, saya juga tak lupa menyempatkan berfoto dengan latar
arsitektur stasiun kuno Ambarawa yang masih terawat ini. Oh ya, saya juga
menyempatkan berfoto di dalam gerbong kereta uap wisata yang katanya memiliki
harga sewa Rp. 2.000.000,- untuk sekali jalan. Ya, kereta uap wisata ini
merupakan satu-satunya kereta uap yang dapat berjalan menanjak, bahkan dengan
rute sampai daerah Bedono (daerah atas di Kab. Semarang). Belum lagi bahan
bakarnya yang khusus yaitu hanya boleh menggunakan kayu Jati. Nah, jelas kan,
mengapa mahal? Biasanya kereta ini disewa oleh bule-bule yang benar-benar niat untuk bernostalgia di rute lawas
Stasiun Ambarawa.
|
Ini dia gerbong 2 juta yang biasa dioperasikan dengan kayu jati |
|
Bersama arsitektur klasik museum ini yang terawat baik |
Perjalanan satu hari di Kabupaten
Semarang pun berakhir dengan acara makan siang di Nasi Pecel Mbok Kami. Ya,
memang, perut saya yang sudah sangat lapar demi mengejar tur lori, wajib terisi
sesuatu yang benar-benar lezat. Nasi pecel yang terletak di tepi jalan menuju
Goa Maria Kerep, Ambarawa ini memang terkenal lezat dan selalu ramai. Ketika
remaja, saya pun selalu diajak mampir ke sana oleh Ayah saya setiap berkunjung
ke Ambarawa. Nasi pecel dengan mie goreng dan lauk beraneka ragam yang dapat
dipilih sendiri (kata Ani, sate keong di sana adalah lauk yang paling enak dan
wajib dipilih) disajikan dalam sebuah pincuk. Untuk minumnya, tersedia juga
minuman trad
|
Nasi pecel Mbok Kami yang selalu saya kunjungi ketika ke Ambarawa
|
isional seperti es kolak dan dawet. Saya pun hanya merogoh kocek
Rp. 8.000,- untuk sepincuk nasi pecel dengan lauk tahu bakso dan segelas es
dawet. Murah bukan? Hehehe. Akhirnya perjalanan kali ini harus benar-benar
berakhir. Saya berpisah dengan Ani sore itu untuk menuju Salatiga. Saya ingin
beristirahat dan bercengkerama sejenak dengan keluarga saya sesudah 3 hari yang
menyenangkan ini. Bagi saya, Semarang
Kabupaten dan Kota sama indahnya! Anda wajib mengunjunginya dalam satu paket
karena suasana yang dihadirkan benar-benar berbeda. Indonesia still Amazing!
Kenali Negerimu, Cintai Negerimu. =)
ini bandungan bkn ji? kata adekku bagus bgt, dan klo liat dr foto2mu emg bagus kayaknya yah..
BalasHapusiya best...di atasnya bandungan masih ada bbrp tempat wisata yang ga kalah bagussnya...hehehe..mana nih postingan euro trip mu? ak tunggu best
Hapushahahahahahaa pngen ke curug 7 bidadari lg,, lum puas,, kurang lama,, ga sempet pto diatas,, :(
BalasHapusayow jik.. ntar lanjut ke curug panglebur gongso.. wkwkwkwkwkkk,,
ak masih ngidam pantaiii... huhuhuhuuuu....
yang jelas bukan pantai di semarang ya nie..hahaha..wah curug apalagi tuh?
Hapusjalan2 emang seru..wah lumayan nih blognya bwat referensi,
BalasHapusbuat hunting lokasi pre wed's pic.
heheehee :p
thanks buat komennya mbak, jalan-jalan memang ga ada matinya..hehe..menurut saya candi gedong songo bagus jg buat prewed, heritage di tengah alam =)
Hapus