Minggu, 29 Januari 2012

Menengok Alam dan Sang Bapak Pembangunan di Bumi Karanganyar


Saya di depan pintu masuk Grojogan Sewu =)

          Sebenarnya ini merupakan cerita jalan-jalan saya yang sudah cukup lama, dan baru sempat saya membahasnya dalam postingan kali ini. Lebih tepatnya ini merupakan cerita jalan-jalan bersama keluarga besar saya. Ya, jujur saja, saya akhir-akhir ini lebih menikmati untuk ngebolang sendirian atau bersama kawan-kawan seumuran saya, daripada bersama keluarga. Mengapa? Bukan karena saya tidak cinta keluarga. Bagi saya keluarga adalah segala-galanya. Tapi ketika berwisata bersama keluarga itu artinya harus mengharmonisasikan berbagai hal yang bagi saya, justru mengakibatkan wisata itu menjadi seadanya. Pertama, ketika kita berwisata bersama keluarga itu artinya kita harus menurut pada kemampuan dan keinginan dari sebagian besar anggota keluarga. Jangan harap kita dapat mengeksplorasi wisata-wisata terpencil yang medannya cenderung repot dan jelas dihindari oleh sebagian besar anggota keluarga. Kedua, berbagai pertimbangan terutama keamanan ketika berwisata akan membuat kita tidak mendapatkan sensasi adrenalin yang sebenarnya ditawarkan dari beberapa tempat wisata. Iya kan? Ini terlihat dari saya yang mencoba membandingkan ber-flying fox ketika bersama anggota keluarga dan sendirian. Ketika sendirian, saya dengan cepatnya memutuskan, membayar tiket dan seketika meluncur. Nah, ketika bersama keluarga, berbagai pertimbangan dan kekhawatiran muncul dari pihak keluarga sehingga harus berlama-lama untuk meyakinkan bahwa saya akan baik-baik saja. Percaya atau tidak, feel-nya pun berkurang lho..
            Hehehe..apapun jadinya, postingan kali ini akan mengangkat liburan saya bersama keluarga besar saat libur lebaran pada tahun 2011 yang lalu. Ya, mohon maaf saja, jika saya tidak dapat bercerita secara mendetail tentang keseruan-keseruan yang saya temukan mengingat memang sangat minimalis. Oh ya, walaupun keseruannya sangat minimalis, tapi kehangatan dan keakraban keluarga kadang memang kita rindukan. Liburan kali ini diputuskan oleh Ayah dan Ibu saya yang notabene adalah anak tertua di dalam keluarga. Bersama dengan keluarga besar dari pihak Ibu, akhirnya pilihan jatuh pada lokasi Tawangmangu dan sekitarnya. Mengingat lokasinya yang tidak terlalu jauh dari Salatiga, juga sebenarnya liburan kali ini bertujuan untuk menghadirkan sedikit hiburan bagi keluarga Ibu yang baru saja ditinggal Eyang kakung beberapa bulan lalu. Bersama dengan Eyang putri, Om, Tante dan sepupu-sepupu yang berjarak umur cukup jauh dengan saya, membuat saya berpikir bahwa liburan kali ini tidak perlu berekspektasi terlalu banyak. Dalam bayangan saya, liburan kali ini akan benar-benar ramai obrolan, banyaknya aturan, kenakalan anak-anak (baca: sepupu saya), dan penuh dengan window shoping. Hahaha..ternyata benar!


Grojogan Sewu, sang ikon  Tawangmangu yang  menawan

         Sore itu di H+1 hari lebaran, saya dan keluarga berangkat menuju Tawangmangu dengan menggunakan 2 mobil. Prediksi Ayah saya pun meleset. Jika mengacu pada pengalaman-pengalaman mudik sebelumnya yang lalu lintas cenderung sepi pada H+1 atau lebaran hari kedua, sore itu justru padat merayap. Bahkan Salatiga – Solo memakan waktu kurang lebih 3 jam lamanya, belum termasuk menuju lokasi Tawangmangu. Jalur yang padat merayap membuat kami baru sampai di lokasi pada pukul 22.00 WIB. Ditambah lagi penginapan yang full, mengharuskan Ayah saya mencari penginapan yang benar-benar nyaman, berharga miring dan yang jelas, muat untuk seluruh keluarga besar saya. Akhirnya, dapat juga! Sebuah villa dengan 3 kamar tidur, 3 kamar mandi, dapur dan ruang tamu menjadi pilihan Ayah saya. Saya pun kembali dihadirkan dengan suasana yang super dingin, ya, suasana khas kaki pegunungan. Haha, ramainya obrolan membuat seluruh keluarga saya baru terlelap pada dini hari dengan sebelumnya sempat mencicipi wedang ronde panas-panas. Inilah yang saya sebut dengan kehangatan yang dapat kita temukan ketika berwisata bersama keluarga, terlepas dari kepuasan diri yang mungkin sulit tercapai.

Saya dan Grojogan Sewu

            Paginya, saya dan keluarga sudah disibukkan dengan acara sarapan. Mulai dari sate ayam, sate kelinci, mie rebus, dan susu sapi segar yang tersaji hangat sudah berada di meja makan. Ya, kami pun segera menyantapnya karena acara pagi ini adalah mengunjungi ikonnya Tawangmangu, apalagi kalau bukan Grojogan Sewu. Ini adalah kali kedua saya mengunjungi air terjun yang lumayang besar dengan debit air yang deras ini. Seperti layaknya wisata air terjun pada umumnya, untuk menuju lokasi kita diharuskan menuruni anak tangga yang banyak jumlahnya. Bahkan, yang saya salut, Eyang putri saya yang senantiasa modis pun masih kuat menghabiskan seluruh anak tangga (pergi-pulang) dalam usia yang tidak lagi muda. Memang, Eyang putri dari pihak ibu selalu hobi jalan-jalan, apalagi window shoping, suatu bakat yang diturunkan pada Ibu dan kakak perempuan saya dengan sangat jelas. Haha..Sesampainya di Grojogan Sewu, saya kok agak malas ya mendekati debit air yang terjun dengan derasnya itu. Ramee beneerr!!. Penuh sesak dengan wisatawan lokal yang berebut menikmati segarnya grojogan air dari atas tebingnya. Saya pun lebih memilih untuk menikmatinya dari kejauhan sambil mencoba flying fox dengan jarak yang super pendek. Ya, intinya biasa saja. Cuma, Grojogan Sewu yang saya lihat ketika masih kecil dulu dan juga sekarang tetap menampilkan kekuatannya yang besar dan menawan. Pantas saja jika ia tetap menjadi ikonnya Tawangmangu! 

Setelah finish dari 1.250 anak tangga di Grojogan Sewu

Sepupu saya yang menjajal flying fox super pendek
Ternyata keindahan alam Karanganyar tidak hanya menjadi milik Grojogan Sewu. Baru kemarin, saya bersama teman-teman ngebolang saya yang kali ini terdiri atas Satria, Desem, Didim dan Rian (tanpa personil ladies) berusaha mengeksplorasi alam Karanganyar secara lebih maksimal. Kali ini saya bersama kawan-kawan memilih jalur menuju Wisata Candi Sukuh, bukan jalur menuju Tawangmangu. Sepanjang perjalanan, Anda akan menemukan hamparan karpet hijau yang tersusun atas kebun teh, sawah dan perkebunan sayur yang sangat luas sehingga menghadirkan landscape alam yang luar biasa cantik! Apalagi perpaduan gradasi warna hijau dari kebun-kebun itu dibawah langit yang berkabut putih keabuan. Sungguh menyegarkan mata! Saya juga sempat mengunjungi air terjun Parang Ijo, sebuah air terjun mini dengan debit air yang tidak begitu besar namun dengan taman yang sangat terorganisir baik. Anda cukup merogoh kocek sebesar Rp. 2.500,- saja untuk mengunjunginya. Ya, dari eksplorasi ini, satu hal yang saya amati dari pariwisata di Kabupaten Karanganyar yaitu maksimalnya pengelolaan dari dinas dan pemerintah setempat. Bahkan karcis masuk setiap lokasi wisata di Karanganyar ini dibuat setipe. Salut! Mereka tahu bagaimana memaksimalkan potensi wisata alamnya! Great!

Saya bersama tim ngebolang saya di air terjun Parang Ijo

Oh ya, selain wisata alam, jangan lupa mampir ke Astana Giribangun jika Anda berkunjung ke Karanganyar. Bahkan saya dan keluarga besar pun tidak melewatkan  kesempatan untuk berkunjung ke istana terakhir Bapak Pembangunan kita, Presiden Soeharto ini. Sebenarnya kunjungan ini bermula dari rasa penasaran saya ketika melihat papan penunjuk jalan menuju Astana Giribangun. Saya ingin melihat sekaligus membandingkan seindah apa peristirahatan terakhir Presiden Soeharto ini jika disandingkan dengan peristirahatan terakhir Presiden Soekarno di Blitar yang juga sama-sama dimanfaatkan untuk wisata ziarah. Ternyata, lebih megah! Ya, itulah kesan yang saya dapati ketika pertama kali mengunjunginya. Dengan medan yang berkelak-kelok sambil menanjak, saya sarankan untuk menggunakan mobil yang benar-benar siap fisiknya. Lokasi ini sendiri memiliki dua area parkir yaitu area bawah dan atas. Jangan terkecoh dengan area parkir di bawah yang pasti Anda temui terlebih dahulu sebelum sampai di lokasi. Mengapa?, karena jarak dari area parkir bawah ke lokasi Astana Giribangun masih lumayan jauh. Untung saja, Ayah saya langsung memarkirkan mobilnya di area parkir di atas mengingat area parkir bawah yang sangat sepi kala itu. Ramainya pengunjung membuat area parkir di atas begitu padat, belum lagi ditambah penjual souvenir kaos, penjual bunga untuk ziarah dan petugas-petugas setempat yang mengenakan seragam resmi. Pokoknya, suasana pengawalan sang presiden pun masih terasa sampai di persitirahatan terakhirnya!. 

Kakak, Ibu dan Saya di kompleks Astana Giribangun

Astana Giribangun ternyata tidak memiliki sistem perkarcisan melainkan dengan sistem surat ijin masuk. Nah, bagaimana prosedurnya? Ya, Anda cukup mendatangi salah satu ruang kantor di lokasi yang pastinya penuh dengah wisatawan yang juga mengurus surat ijin masuk ini. Cukup dengan memberikan KTP dan mengantri sebentar, selanjutnya Anda akan dipanggil untuk ditanyai daerah asal, maksud berkunjung dan jumlah rombongan. Seketika surat ijin masuk milik Anda pun diketik dan tercetak. Nah, surat ijin masuk inilah yang ditunjukkan kepada petugas berseragam serba hitam di pintu masuk Astana Giribangun. Oh ya, jangan lupa membeli bunga untuk ziarah yang akan diletakkan di masing-masing makam. Indahnya kompleks bangunan Astana Giribangun membuat saya dan keluarga pun menyempatkan berfoto sejenak. Akhirnya, sampailah saya pada bangunan utama. 

Saya dan Ibu di pelataran bangunan utama Astana Giribangun

Dipelataran yang berbentuk joglo ini terdapat beberapa makam keluarga Ibu Tien Soeharto yang notabene masih keluarga bangsawan Solo. Jangan bayangkan kompleks makam ini berlantaikan tanah ya, melainkan berkeramik marmer yang dilapisi karpet! Ya, saya sendiri kurang tahu bagaimana sistemnya. Sepertinya jika ingin memakamkan jenazah baru disana, harus membuka lantai marmer terlebih dahulu sebelum mengeruk tanah untuk dibuat liang lahat. Ternyata untuk masuk ke bangunan utama yang berisikan makam Presiden Soeharto dan Ibu Tien Soeharto pun masih harus mengantri, mengingat pengunjung di dalam bangunan utama sangat dibatasi jumlahnya. Ya, setelah memberikan surat ijin masuk yang diurus di awal tadi kepada petugas di bangunan utama, maka selanjutnya saya dan keluarga pun diharuskan menunggu sampai terdengar “Keluarga Pak Kasiat Adi, dari Salatiga silahkan masuk!”. Barulah kami masuk dan tarraa..ruangan di dalam bangunan utama ini begitu njawani, bersih dan mewah!. Itulah kesan yang saya tangkap. Kami pun dipersilahkan untuk menghantarkan doa, dan selanjutnya meletakkan bunga. Hah? meletakkan?. Ya, memang, di sana berbeda dengan makam Presiden Soekarno di Blitar yang kita dengan bebas menghantarkan doa dan menabur bunga di atas pusara Sang Presiden. Di dalam bangunan utama tersebut, kita menghantarkan doa dalam jarak beberapa meter dari pusara dan bunga ziarah pun diletakkan pada wadah semacam baki kuningan yang terdapat di depan masing-masing pusara. Jadi, jelaslah bukan ditaburkan melainkan diletakkan. Hehe,,Bangunan utama ini berisikan beberapa pusara antara lain pusara Presiden Soeharto, Ibu Tien Soeharto dan juga kakak dari Ibu Tien Soeharto. Oh ya, jangan harap kamera pribadi Anda bebas menjepret di dalam bangunan utama ini. Selain memang disediakan jasa fotografer yang akan memotret Anda sekeluarga dengan latar pusara (berbayar pastinya), menurut saya aturan ini lebih ditujukan untuk menjamin kekhidmatan ketika berziarah. Ya,bagi saya ini merupakan pengalaman wisata yang unik. Jujur saja, saya kurang menikmati wisata ziarah, tapi pengalaman berziarah ke pusara Bapak Pembangunan yang terkenal dengan program Pelita-nya ini, kapan lagi kan?. Ayo, tetap bersemangat menjelajahi eksotisme Indonesia yang tidak ada habisnya! Kenali negerimu, Cintai negerimu! =)
           
Saya di depan pintu masuk kompleks Astana Giribangun
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar