|
Saya di depan pintu masuk Grojogan Sewu =) |
Sebenarnya
ini merupakan cerita jalan-jalan saya yang sudah cukup lama, dan baru sempat
saya membahasnya dalam postingan kali ini. Lebih tepatnya ini merupakan cerita
jalan-jalan bersama keluarga besar saya. Ya, jujur saja, saya akhir-akhir ini
lebih menikmati untuk ngebolang
sendirian atau bersama kawan-kawan seumuran saya, daripada bersama keluarga.
Mengapa? Bukan karena saya tidak cinta keluarga. Bagi saya keluarga adalah
segala-galanya. Tapi ketika berwisata bersama keluarga itu artinya harus
mengharmonisasikan berbagai hal yang bagi saya, justru mengakibatkan wisata itu
menjadi seadanya. Pertama, ketika
kita berwisata bersama keluarga itu artinya kita harus menurut pada kemampuan
dan keinginan dari sebagian besar anggota keluarga. Jangan harap kita dapat
mengeksplorasi wisata-wisata terpencil yang medannya cenderung repot dan jelas
dihindari oleh sebagian besar anggota keluarga. Kedua, berbagai pertimbangan
terutama keamanan ketika berwisata akan membuat kita tidak mendapatkan sensasi
adrenalin yang sebenarnya ditawarkan dari beberapa tempat wisata. Iya kan? Ini
terlihat dari saya yang mencoba membandingkan ber-flying fox ketika bersama anggota keluarga dan sendirian. Ketika
sendirian, saya dengan cepatnya memutuskan, membayar tiket dan seketika
meluncur. Nah, ketika bersama keluarga, berbagai pertimbangan dan kekhawatiran
muncul dari pihak keluarga sehingga harus berlama-lama untuk meyakinkan bahwa
saya akan baik-baik saja. Percaya atau tidak, feel-nya pun berkurang lho..
Hehehe..apapun jadinya, postingan
kali ini akan mengangkat liburan saya bersama keluarga besar saat libur lebaran
pada tahun 2011 yang lalu. Ya, mohon maaf saja, jika saya tidak dapat bercerita
secara mendetail tentang keseruan-keseruan yang saya temukan mengingat memang
sangat minimalis. Oh ya, walaupun keseruannya sangat minimalis, tapi kehangatan
dan keakraban keluarga kadang memang kita rindukan. Liburan kali ini diputuskan
oleh Ayah dan Ibu saya yang notabene adalah anak tertua di dalam keluarga.
Bersama dengan keluarga besar dari pihak Ibu, akhirnya pilihan jatuh pada
lokasi Tawangmangu dan sekitarnya. Mengingat lokasinya yang tidak terlalu jauh
dari Salatiga, juga sebenarnya liburan kali ini bertujuan untuk menghadirkan sedikit
hiburan bagi keluarga Ibu yang baru saja ditinggal Eyang kakung beberapa bulan
lalu. Bersama dengan Eyang putri, Om, Tante dan sepupu-sepupu yang berjarak
umur cukup jauh dengan saya, membuat saya berpikir bahwa liburan kali ini tidak
perlu berekspektasi terlalu banyak. Dalam bayangan saya, liburan kali ini akan
benar-benar ramai obrolan, banyaknya aturan, kenakalan anak-anak (baca: sepupu
saya), dan penuh dengan window shoping.
Hahaha..ternyata benar!
|
|
|
Grojogan Sewu, sang ikon Tawangmangu yang menawan
|
Sore itu di H+1 hari lebaran, saya
dan keluarga berangkat menuju Tawangmangu dengan menggunakan 2 mobil. Prediksi
Ayah saya pun meleset. Jika mengacu pada pengalaman-pengalaman mudik sebelumnya
yang lalu lintas cenderung sepi pada H+1 atau lebaran hari kedua, sore itu
justru padat merayap. Bahkan Salatiga – Solo memakan waktu kurang lebih 3 jam
lamanya, belum termasuk menuju lokasi Tawangmangu. Jalur yang padat merayap
membuat kami baru sampai di lokasi pada pukul 22.00 WIB. Ditambah lagi
penginapan yang full, mengharuskan
Ayah saya mencari penginapan yang benar-benar nyaman, berharga miring dan yang
jelas, muat untuk seluruh keluarga besar saya. Akhirnya, dapat juga! Sebuah villa dengan 3 kamar tidur, 3 kamar
mandi, dapur dan ruang tamu menjadi pilihan Ayah saya. Saya pun kembali
dihadirkan dengan suasana yang super
dingin, ya, suasana khas kaki pegunungan. Haha, ramainya obrolan membuat
seluruh keluarga saya baru terlelap pada dini hari dengan sebelumnya sempat
mencicipi wedang ronde panas-panas. Inilah yang saya sebut dengan kehangatan
yang dapat kita temukan ketika berwisata bersama keluarga, terlepas dari
kepuasan diri yang mungkin sulit tercapai.
|
Saya dan Grojogan Sewu |
Paginya, saya dan keluarga sudah
disibukkan dengan acara sarapan. Mulai dari sate ayam, sate kelinci, mie rebus,
dan susu sapi segar yang tersaji hangat sudah berada di meja makan. Ya, kami
pun segera menyantapnya karena acara pagi ini adalah mengunjungi ikonnya
Tawangmangu, apalagi kalau bukan Grojogan Sewu. Ini adalah kali kedua saya
mengunjungi air terjun yang lumayang besar dengan debit air yang deras ini.
Seperti layaknya wisata air terjun pada umumnya, untuk menuju lokasi kita
diharuskan menuruni anak tangga yang banyak jumlahnya. Bahkan, yang saya salut,
Eyang putri saya yang senantiasa modis pun masih kuat menghabiskan seluruh anak
tangga (pergi-pulang) dalam usia yang tidak lagi muda. Memang, Eyang putri dari
pihak ibu selalu hobi jalan-jalan, apalagi window
shoping, suatu bakat yang diturunkan pada Ibu dan kakak perempuan saya
dengan sangat jelas. Haha..Sesampainya di Grojogan Sewu, saya kok agak malas ya
mendekati debit air yang terjun dengan derasnya itu. Ramee beneerr!!. Penuh sesak dengan wisatawan lokal yang berebut
menikmati segarnya grojogan air dari atas
tebingnya. Saya pun lebih memilih untuk menikmatinya dari kejauhan sambil
mencoba flying fox dengan jarak yang super pendek. Ya, intinya biasa saja.
Cuma, Grojogan Sewu yang saya lihat ketika masih kecil dulu dan juga sekarang
tetap menampilkan kekuatannya yang besar dan menawan. Pantas saja jika ia tetap
menjadi ikonnya Tawangmangu!
|
Setelah finish dari 1.250 anak tangga di Grojogan Sewu |
|
Sepupu saya yang menjajal flying fox super pendek |
Ternyata keindahan alam Karanganyar tidak hanya menjadi milik
Grojogan Sewu. Baru kemarin, saya bersama teman-teman ngebolang saya yang kali ini terdiri atas Satria, Desem, Didim dan
Rian (tanpa personil ladies) berusaha
mengeksplorasi alam Karanganyar secara lebih maksimal. Kali ini saya bersama
kawan-kawan memilih jalur menuju Wisata Candi Sukuh, bukan jalur menuju
Tawangmangu. Sepanjang perjalanan, Anda akan menemukan hamparan karpet hijau yang
tersusun atas kebun teh, sawah dan perkebunan sayur yang sangat luas sehingga
menghadirkan landscape alam yang luar
biasa cantik! Apalagi perpaduan gradasi warna hijau dari kebun-kebun itu dibawah
langit yang berkabut putih keabuan. Sungguh menyegarkan mata! Saya juga sempat
mengunjungi air terjun Parang Ijo, sebuah air terjun mini dengan debit air yang tidak begitu besar namun dengan taman
yang sangat terorganisir baik. Anda cukup merogoh kocek sebesar Rp. 2.500,- saja untuk mengunjunginya. Ya, dari eksplorasi ini, satu hal yang saya
amati dari pariwisata di Kabupaten Karanganyar yaitu maksimalnya pengelolaan
dari dinas dan pemerintah setempat. Bahkan karcis masuk setiap lokasi wisata di
Karanganyar ini dibuat setipe. Salut! Mereka tahu bagaimana memaksimalkan
potensi wisata alamnya! Great!
|
Saya bersama tim ngebolang saya di air terjun Parang Ijo |
Oh ya, selain wisata alam, jangan lupa mampir ke Astana
Giribangun jika Anda berkunjung ke Karanganyar. Bahkan saya dan keluarga besar pun
tidak melewatkan kesempatan untuk
berkunjung ke istana terakhir Bapak Pembangunan kita, Presiden Soeharto ini.
Sebenarnya kunjungan ini bermula dari rasa penasaran saya ketika melihat papan
penunjuk jalan menuju Astana Giribangun. Saya ingin melihat sekaligus
membandingkan seindah apa peristirahatan terakhir Presiden Soeharto ini jika
disandingkan dengan peristirahatan terakhir Presiden Soekarno di Blitar yang
juga sama-sama dimanfaatkan untuk wisata ziarah. Ternyata, lebih megah! Ya,
itulah kesan yang saya dapati ketika pertama kali mengunjunginya. Dengan medan
yang berkelak-kelok sambil menanjak, saya sarankan untuk menggunakan mobil yang
benar-benar siap fisiknya. Lokasi ini sendiri memiliki dua area parkir yaitu
area bawah dan atas. Jangan terkecoh dengan area parkir di bawah yang pasti
Anda temui terlebih dahulu sebelum sampai di lokasi. Mengapa?, karena jarak
dari area parkir bawah ke lokasi Astana Giribangun masih lumayan jauh. Untung
saja, Ayah saya langsung memarkirkan mobilnya di area parkir di atas mengingat
area parkir bawah yang sangat sepi kala itu. Ramainya pengunjung membuat area
parkir di atas begitu padat, belum lagi ditambah penjual souvenir kaos, penjual bunga untuk ziarah dan petugas-petugas
setempat yang mengenakan seragam resmi. Pokoknya, suasana pengawalan sang
presiden pun masih terasa sampai di persitirahatan terakhirnya!.
|
Kakak, Ibu dan Saya di kompleks Astana Giribangun |
Astana Giribangun ternyata tidak memiliki sistem perkarcisan
melainkan dengan sistem surat ijin masuk. Nah, bagaimana prosedurnya? Ya, Anda
cukup mendatangi salah satu ruang kantor di lokasi yang pastinya penuh dengah
wisatawan yang juga mengurus surat ijin masuk ini. Cukup dengan memberikan KTP dan
mengantri sebentar, selanjutnya Anda akan dipanggil untuk ditanyai daerah asal,
maksud berkunjung dan jumlah rombongan. Seketika surat ijin masuk milik Anda
pun diketik dan tercetak. Nah, surat ijin masuk inilah yang ditunjukkan kepada
petugas berseragam serba hitam di pintu masuk Astana Giribangun. Oh ya, jangan
lupa membeli bunga untuk ziarah yang akan diletakkan di masing-masing makam. Indahnya
kompleks bangunan Astana Giribangun membuat saya dan keluarga pun menyempatkan
berfoto sejenak. Akhirnya, sampailah saya pada bangunan utama.
|
Saya dan Ibu di pelataran bangunan utama Astana Giribangun | |
|
Dipelataran yang
berbentuk joglo ini terdapat beberapa makam keluarga Ibu Tien Soeharto yang
notabene masih keluarga bangsawan Solo. Jangan bayangkan kompleks makam ini berlantaikan
tanah ya, melainkan berkeramik marmer yang dilapisi karpet! Ya, saya sendiri
kurang tahu bagaimana sistemnya. Sepertinya jika ingin memakamkan jenazah baru
disana, harus membuka lantai marmer terlebih dahulu sebelum mengeruk tanah
untuk dibuat liang lahat. Ternyata untuk masuk ke bangunan utama yang berisikan
makam Presiden Soeharto dan Ibu Tien Soeharto pun masih harus mengantri,
mengingat pengunjung di dalam bangunan utama sangat dibatasi jumlahnya. Ya, setelah
memberikan surat ijin masuk yang diurus di awal tadi kepada petugas di bangunan
utama, maka selanjutnya saya dan keluarga pun diharuskan menunggu sampai
terdengar “Keluarga Pak Kasiat Adi, dari
Salatiga silahkan masuk!”. Barulah kami masuk dan tarraa..ruangan di dalam bangunan utama ini begitu njawani, bersih dan mewah!. Itulah kesan
yang saya tangkap. Kami pun dipersilahkan untuk menghantarkan doa, dan
selanjutnya meletakkan bunga. Hah? meletakkan?. Ya, memang, di sana berbeda
dengan makam Presiden Soekarno di Blitar yang kita dengan bebas menghantarkan
doa dan menabur bunga di atas pusara Sang Presiden. Di dalam bangunan utama tersebut,
kita menghantarkan doa dalam jarak beberapa meter dari pusara dan bunga ziarah
pun diletakkan pada wadah semacam baki kuningan
yang terdapat di depan masing-masing pusara. Jadi, jelaslah bukan ditaburkan
melainkan diletakkan. Hehe,,Bangunan utama ini berisikan beberapa pusara antara
lain pusara Presiden Soeharto, Ibu Tien Soeharto dan juga kakak dari Ibu Tien
Soeharto. Oh ya, jangan harap kamera pribadi Anda bebas menjepret di dalam bangunan utama ini. Selain memang disediakan
jasa fotografer yang akan memotret Anda sekeluarga dengan latar pusara
(berbayar pastinya), menurut saya aturan ini lebih ditujukan untuk menjamin
kekhidmatan ketika berziarah. Ya,bagi saya ini merupakan pengalaman wisata yang
unik. Jujur saja, saya kurang menikmati wisata ziarah, tapi pengalaman berziarah
ke pusara Bapak Pembangunan yang terkenal dengan program Pelita-nya ini, kapan
lagi kan?. Ayo, tetap bersemangat menjelajahi eksotisme Indonesia yang tidak
ada habisnya! Kenali negerimu, Cintai negerimu! =)
|
Saya di depan pintu masuk kompleks Astana Giribangun
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar